Pagi masih meringkuk ketika ribuan
mayat bangkit dari dalam kubur. Mayat-mayat itu melangkah gontai menyisiri sela
dan tikung jalan. Anjing-anjing tak henti menggonggong saat memergoki
mayat-mayat dengan tubuh suram mengeluyur di setiap simpang dan gorong-gorong
kota. Air muka sosok-sosok ganjil itu pun tampak bengis. Mereka seperti sengaja
bangkit mencari suatu pelampiasan akan dendam masa lalu yang tak terselesaikan.
Saat manusia terjaga dari tidur pulas, mayatmayat itu telah
mengepung kota. Terdengar jeritan di mana-mana. Kegaduhan menyebar dan
beranakpinak di setiap tempat. Orang-orang ketakutan. Bahkan karena risau
dengan mayat-mayat yang berkeliaran bebas, mereka menghalau dengan berbagai
cara. Ratusan batu dilemparkan dan pedang-pedang dihunus. Namun sosok-sosok
suram itu tak dapat dibendung. Setiap hal yang dilakukan gagal. Tidak ada satu
mayat pun yang tumbang berkalang tanah.
Penduduk kota makin panik, karena semua hal yang mereka
lakukan tidak membuahkan hasil. Namun di tengah keputusasaan itu, orang-orang
merasa ada yang aneh dengan segerombol mayat itu. Ada sesuatu yang terasa
ganjil. Memang apabila diperhatikan lagi secara saksama, tingkah mayat-mayat
itu tampak tak wajar. Mereka seperti tak memedulikan serangan yang dilancarkan
penduduk kota. Makhluk-makhluk itu seolah enggan menyerang balik ke arah warga.
“Dunia ini pasti akan kiamat!”
“Ini semua sudah di luar batas-batas kenormalan!”
Penduduk kota tak henti berdoa dan menyebut-nyebut nama
Tuhan. Mereka berharap dunia tak lekas kiamat. Para wanita dan anak-anak terus
menjerit karena tak dapat menyaksikan pemandangan ganjil itu. Namun sudah tidak
ada lagi yang bisa orang-orang perbuat, selain pasrah mengamati arak-arakan
mayat menyerbu kota.
“Lihat! Lihat! Bukankah itu Tan Malaka?!” Tiba-tiba seseorang
berteriak lantang. “Bukankah dia tokoh PKI dan jadi buronan?”
“Astaga! Bukankah itu Muso!” Sahut yang lain tercengang.
“Bukankah itu Wiji Tukhul! Penyair yang lenyap pada masa
Orde Baru. Ah, apa yang sebenarnya terjadi? Dunia pasti akan kiamat!”
Pagi itu, Tuhan seperti menciptakan keajaiban. Tuhan
menghidupkan kembali sosok-sosok yang telah hilang dalam ingatan. Di dalam
kerumunan mayat itu ada orang-orang yang pernah tercatat sekaligus tenggelam
dalam pusaran sejarah kelam pada masa 1965-1966. Orang-orang yang dahulu pernah
disingkirkan sebuah rezim terkutuk Orde Baru, karena geliatnya yang dianggap
membahayakan, terkhusus di dalam partai komunis.
Penduduk kota masih tak habis pikir. Mereka belum dapat
memercayai kejadian ganjil itu. Setiap pasang mata menyelidik dan
mempertanyakan arakarakan mayat yang berjumlah ribuan itu. Orangorang yang
semula mengadang laju makhlukmakhluk kelam itu, menghentikan semua serangan.
Bahkan karena merasa sama sekali tidak mengancam, anak-anak dibiarkan mendekat
seraya bermain bersama mayat-mayat itu.
***
Matahari makin tua merangkak naik ke pucuk gedung-gedung
pencakar langit. Udara panas menyengat. Di jalan-jalan, orang-orang masih tak
dapat melepaskan pandangan pada arak-arakan mayat. Acara-acara di televisi pun
tak henti menyiarkan kehadiran ribuan mayat yang menyerbu kota. Bahkan menyusul
berita-berita ganjil tentang betapa banyak kuburan massal pada masa pembataian
anggota PKI yang rusak di penjuru negeri.
Berita tentang kuburan-kuburan yang rusak pun langsung
menarik perhatian para peneliti. Para dukun menghubung-hubungkan kebangkitan
mayat-mayat itu sebagai pertanda dunia berakhir. Namun ada kejadian lain yang
cukup aneh. Tidak semua kuburan rusak. Kuburan-kuburan yang rusak hanya di
tempat-tempat tertentu, yaitu kuburankuburan yang dahulu digunakan untuk
mengubur para korban pembantaian tahun 1965-1966 di seluruh Indonesia.
Seorang pembawa acara melaporkan kejadian. Masih tidak dapat
dipercaya, ribuan mayat tiba-tiba kembali hidup dan menyerbut kota. Mereka
berkeliaran bebas di kota.î
Repoter televisi itu terus mengabarkan tentang geliat
mayat-mayat tersebut. “Memang ada yang aneh dalam peristiwa ini. Mayat-mayat
itu tidak sekalipun menyerang masyarakat. Bahkan mereka tampak bersahabat.
Namun, tak ada seorang pun tahu, mau ke mana sebenarnya mayat-mayat ini?”
Langkah mayat-mayat seperti tak memiliki tujuan. Mereka
hanya berputar putar mengelilingi kota tiada arah. Namun saat matahari tepat
lurus di atas kepala, serentak mayat-mayat bergerak secara mistis. Tiba-tiba mayat-mayat
itu menggeloyor ke arah gedung-gedung pemerintahan. Dalam waktu sekejap, mereka
bahkan telah mengepung gedunggedung pengadilan. Mayat-mayat yang semula tenang
pun kini bertingkah bengis. Mereka berteriakteriak, beryel-yel, dan berorasi
layaknya demonstran.
“Kembalikan
keadalian! Kembalikan keadilan!” Salah seorang mayat yang dahulu merupakan
aktivis hak asasi manusia memimpin. “Sudah cukup kalian menindas orang-orang
tak bersalah! Sudah cukup pula kalian memecah belah dan menebar fitnah! Sudah
cukup! Kembalikan keadilan!”
Melihat tabiat mayat-mayat yang anarkis, aparat keamanan
diturunkan untuk menjaga keadaan. Namun makhluk-makhluk dari alam baka itu
tiada gentar. Mereka memecah benteng pengamanan aparat keamanan dengan terus
merangsek maju. Kerusuhan pun akhirnya meletus. Terdengar teriakan dan desing
tembakan di mana-mana.
Namun tubuh mayat-mayat itu kebal. Mereka dapat kembali
bangkit setelah ditembak berulang kali. Aparat keamanan yang menahan pun
kewalahan. Sampai akhirnya tembok pengamanan dapat ditembus. Dan, satu per satu
mayat-mayat berhasil masuk ke gedung-gedung pengadilan. Mereka pun menyeret
para hakim yang acap bertindak tak sesuai dengan keadilan. Setelah berhasil
meringkus para penegak keadilan yang culas, sosok-sosok ganjil itu lantas
mengarak paksa puluhan mafia hukum mengelilingi kota. Mereka seolah ingin
memperlihatkan kepada setiap orang, wajah-wajah buruk penguasa negara yang
lalim.
***
Tindakan monster-monster itu tak sampai di situ. Setelah
menangkap para pengadil hukum yang tak jujur, sosok-sosok muram itu kembali
menggeloyor menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka seperti ingin kembali
menuntut hak yang dahulu terampas oleh para penguasa korup. Akan tetapi,
seperti terjadi saat menyerbu gedunggedung pengadilan, aparat keamanan kembali
mengadang langkah mayat-mayat itu. Helikopter dan tank tak luput diturunkan
untuk menghentikan mayat-mayat itu.
Kekacauan kembali pecah. Berdentaman tembakan di tengah
kerumunan. Namun, sekali lagi, ratusan peluru yang ditembakkan tak dapat
melukai mayat-mayat itu.
“Kita tidak akan pernah dapat menjatuhkan mayat-mayat itu,”
kata seorang komandan kepada anak buahnya. “Mereka mayat-mayat yang sudah lama
mati. Kita tidak akan dapat membunuh mereka.”
“Ya, seribu kali menembak, kita tak akan mungkin mampu
membunuh,” terdengar lagi suara-suara ketakutan.
“Mundur! Mundur! Semua serangan yang kita lakukan tak
berguna! Mundur! Mundur!”
Komandan pasukan itu menyuruh mundur pasukannya. Ia begitu
ketakutan melihat wajah monstermonster yang dipenuhi dendam. Begitulah
akhirnya! Tembok tebal aparat keamanan runtuh. Mayat-mayat dengan mudah masuk
ke gedung-gedung pemerintahan. Di sana mereka meringkus para penguasa yang
korup serta acap menyia-nyiakan rakyat. Mereka menyeretnya keluar
mengelilingi kota.
“Seumpama bunga/Kami adalah bunga yang tak kau hendaki
tumbuh/Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah/Seumpama bunga/Kami
adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya/Engkau lebih suka membangun jalan
raya dan pagar besi.” Seonggok mayat, yang dahulu
pada masa Orde Baru adalah penayair, membacakan potongan sajaknya. “Seumpama bunga/Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami
sendiri/Jika kami bunga/Engkau adalah tembok itu/Tapi di tubuh tembok itu telah
kami sebar biji-biji/Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan:
Engkau harus hancur!/Dalam keyakinan kami/Di manapun tirani harus tumbang?” *
Mayat itu terus membacakan potongan-potongan sajak. Ia ingin
menggambarkan kemurkaan hati yang lama bungkam dan terkekang.
***
Senja tiba. Langit tergurat warna kesumba di atas
gedung-gedung kota yang murung. Mayatmayat itu masih berjejalan bersama puluhan
koruptor, mafia hukum, dan cukong-cukong kemanusiaan yang diarak paksa ke
jalan. Namun, saat matahari meredup dan tumbang di ufuk barat, sosok-sosok itu
diseret oleh kegaiban lain. Mayat-mayat itu serentak meninggalkan kota.
Di sepanjang jalan, anjing-anjing tak henti menyalak.
Anjing-anjing itu seakan mengiringi kepergian mayat-mayat itu. Bahkan ketika
satu per satu para koruptor, mafia hukum, dan cukong kemanusian yang dahulu
menyiksa, serta merampas hak rakyat dibenamkan ke dalam liang kubur,
anjing-anjing masih terus mengonggong. Anjinganjing itu seperti sedang
merayakan kemenangan atas demonstrasi keadilan. (28)
Sumber: Cerpen Risda
Nur Widia (Suara
Merdeka, 22 September 2019)
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!