Wednesday, September 25, 2019

MAYAT GUGAT

Pagi masih meringkuk ketika ribuan mayat bangkit dari dalam kubur. Mayat-mayat itu melangkah gontai menyisiri sela dan tikung jalan. Anjing-anjing tak henti menggonggong saat memergoki mayat-mayat dengan tubuh suram mengeluyur di setiap simpang dan gorong-gorong kota. Air muka sosok-sosok ganjil itu pun tampak bengis. Mereka seperti sengaja bangkit mencari suatu pelampiasan akan dendam masa lalu yang tak terselesaikan.
Saat manusia terjaga dari tidur pulas, mayatmayat itu telah mengepung kota. Terdengar jeritan di mana-mana. Kegaduhan menyebar dan beranakpinak di setiap tempat. Orang-orang ketakutan. Bahkan karena risau dengan mayat-mayat yang berkeliaran bebas, mereka menghalau dengan berbagai cara. Ratusan batu dilemparkan dan pedang-pedang dihunus. Namun sosok-sosok suram itu tak dapat dibendung. Setiap hal yang dilakukan gagal. Tidak ada satu mayat pun yang tumbang berkalang tanah.
Penduduk kota makin panik, karena semua hal yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil. Namun di tengah keputusasaan itu, orang-orang merasa ada yang aneh dengan segerombol mayat itu. Ada sesuatu yang terasa ganjil. Memang apabila diperhatikan lagi secara saksama, tingkah mayat-mayat itu tampak tak wajar. Mereka seperti tak memedulikan serangan yang dilancarkan penduduk kota. Makhluk-makhluk itu seolah enggan menyerang balik ke arah warga.
“Dunia ini pasti akan kiamat!”
“Ini semua sudah di luar batas-batas kenormalan!”
Penduduk kota tak henti berdoa dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Mereka berharap dunia tak lekas kiamat. Para wanita dan anak-anak terus menjerit karena tak dapat menyaksikan pemandangan ganjil itu. Namun sudah tidak ada lagi yang bisa orang-orang perbuat, selain pasrah mengamati arak-arakan mayat menyerbu kota.
“Lihat! Lihat! Bukankah itu Tan Malaka?!” Tiba-tiba seseorang berteriak lantang. “Bukankah dia tokoh PKI dan jadi buronan?”
“Astaga! Bukankah itu Muso!” Sahut yang lain tercengang.
“Bukankah itu Wiji Tukhul! Penyair yang lenyap pada masa Orde Baru. Ah, apa yang sebenarnya terjadi? Dunia pasti akan kiamat!”
Pagi itu, Tuhan seperti menciptakan keajaiban. Tuhan menghidupkan kembali sosok-sosok yang telah hilang dalam ingatan. Di dalam kerumunan mayat itu ada orang-orang yang pernah tercatat sekaligus tenggelam dalam pusaran sejarah kelam pada masa 1965-1966. Orang-orang yang dahulu pernah disingkirkan sebuah rezim terkutuk Orde Baru, karena geliatnya yang dianggap membahayakan, terkhusus di dalam partai komunis.
Penduduk kota masih tak habis pikir. Mereka belum dapat memercayai kejadian ganjil itu. Setiap pasang mata menyelidik dan mempertanyakan arakarakan mayat yang berjumlah ribuan itu. Orangorang yang semula mengadang laju makhlukmakhluk kelam itu, menghentikan semua serangan. Bahkan karena merasa sama sekali tidak mengancam, anak-anak dibiarkan mendekat seraya bermain bersama mayat-mayat itu.
***
Matahari makin tua merangkak naik ke pucuk gedung-gedung pencakar langit. Udara panas menyengat. Di jalan-jalan, orang-orang masih tak dapat melepaskan pandangan pada arak-arakan mayat. Acara-acara di televisi pun tak henti menyiarkan kehadiran ribuan mayat yang menyerbu kota. Bahkan menyusul berita-berita ganjil tentang betapa banyak kuburan massal pada masa pembataian anggota PKI yang rusak di penjuru negeri.
Berita tentang kuburan-kuburan yang rusak pun langsung menarik perhatian para peneliti. Para dukun menghubung-hubungkan kebangkitan mayat-mayat itu sebagai pertanda dunia berakhir. Namun ada kejadian lain yang cukup aneh. Tidak semua kuburan rusak. Kuburan-kuburan yang rusak hanya di tempat-tempat tertentu, yaitu kuburankuburan yang dahulu digunakan untuk mengubur para korban pembantaian tahun 1965-1966 di seluruh Indonesia.
Seorang pembawa acara melaporkan kejadian. Masih tidak dapat dipercaya, ribuan mayat tiba-tiba kembali hidup dan menyerbut kota. Mereka berkeliaran bebas di kota.î
Repoter televisi itu terus mengabarkan tentang geliat mayat-mayat tersebut. “Memang ada yang aneh dalam peristiwa ini. Mayat-mayat itu tidak sekalipun menyerang masyarakat. Bahkan mereka tampak bersahabat. Namun, tak ada seorang pun tahu, mau ke mana sebenarnya mayat-mayat ini?”
Langkah mayat-mayat seperti tak memiliki tujuan. Mereka hanya berputar putar mengelilingi kota tiada arah. Namun saat matahari tepat lurus di atas kepala, serentak mayat-mayat bergerak secara mistis. Tiba-tiba mayat-mayat itu menggeloyor ke arah gedung-gedung pemerintahan. Dalam waktu sekejap, mereka bahkan telah mengepung gedunggedung pengadilan. Mayat-mayat yang semula tenang pun kini bertingkah bengis. Mereka berteriakteriak, beryel-yel, dan berorasi layaknya demonstran.
 “Kembalikan keadalian! Kembalikan keadilan!” Salah seorang mayat yang dahulu merupakan aktivis hak asasi manusia memimpin. “Sudah cukup kalian menindas orang-orang tak bersalah! Sudah cukup pula kalian memecah belah dan menebar fitnah! Sudah cukup! Kembalikan keadilan!”
Melihat tabiat mayat-mayat yang anarkis, aparat keamanan diturunkan untuk menjaga keadaan. Namun makhluk-makhluk dari alam baka itu tiada gentar. Mereka memecah benteng pengamanan aparat keamanan dengan terus merangsek maju. Kerusuhan pun akhirnya meletus. Terdengar teriakan dan desing tembakan di mana-mana.
Namun tubuh mayat-mayat itu kebal. Mereka dapat kembali bangkit setelah ditembak berulang kali. Aparat keamanan yang menahan pun kewalahan. Sampai akhirnya tembok pengamanan dapat ditembus. Dan, satu per satu mayat-mayat berhasil masuk ke gedung-gedung pengadilan. Mereka pun menyeret para hakim yang acap bertindak tak sesuai dengan keadilan. Setelah berhasil meringkus para penegak keadilan yang culas, sosok-sosok ganjil itu lantas mengarak paksa puluhan mafia hukum mengelilingi kota. Mereka seolah ingin memperlihatkan kepada setiap orang, wajah-wajah buruk penguasa negara yang lalim.
***
Tindakan monster-monster itu tak sampai di situ. Setelah menangkap para pengadil hukum yang tak jujur, sosok-sosok muram itu kembali menggeloyor menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka seperti ingin kembali menuntut hak yang dahulu terampas oleh para penguasa korup. Akan tetapi, seperti terjadi saat menyerbu gedunggedung pengadilan, aparat keamanan kembali mengadang langkah mayat-mayat itu. Helikopter dan tank tak luput diturunkan untuk menghentikan mayat-mayat itu.
Kekacauan kembali pecah. Berdentaman tembakan di tengah kerumunan. Namun, sekali lagi, ratusan peluru yang ditembakkan tak dapat melukai mayat-mayat itu.
“Kita tidak akan pernah dapat menjatuhkan mayat-mayat itu,” kata seorang komandan kepada anak buahnya. “Mereka mayat-mayat yang sudah lama mati. Kita tidak akan dapat membunuh mereka.”
“Ya, seribu kali menembak, kita tak akan mungkin mampu membunuh,” terdengar lagi suara-suara ketakutan.
“Mundur! Mundur! Semua serangan yang kita lakukan tak berguna! Mundur! Mundur!”

Komandan pasukan itu menyuruh mundur pasukannya. Ia begitu ketakutan melihat wajah monstermonster yang dipenuhi dendam. Begitulah akhirnya! Tembok tebal aparat keamanan runtuh. Mayat-mayat dengan mudah masuk ke gedung-gedung pemerintahan. Di sana mereka meringkus para penguasa yang korup serta acap menyia-nyiakan rakyat. Mereka  menyeretnya keluar mengelilingi kota.
“Seumpama bunga/Kami adalah bunga yang tak kau hendaki tumbuh/Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah/Seumpama bunga/Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya/Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi.” Seonggok mayat, yang dahulu pada masa Orde Baru adalah penayair, membacakan potongan sajaknya. “Seumpama bunga/Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri/Jika kami bunga/Engkau adalah tembok itu/Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji/Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: Engkau harus hancur!/Dalam keyakinan kami/Di manapun tirani harus tumbang?” *
Mayat itu terus membacakan potongan-potongan sajak. Ia ingin menggambarkan kemurkaan hati yang lama bungkam dan terkekang.
***
Senja tiba. Langit tergurat warna kesumba di atas gedung-gedung kota yang murung. Mayatmayat itu masih berjejalan bersama puluhan koruptor, mafia hukum, dan cukong-cukong kemanusiaan yang diarak paksa ke jalan. Namun, saat matahari meredup dan tumbang di ufuk barat, sosok-sosok itu diseret oleh kegaiban lain. Mayat-mayat itu serentak meninggalkan kota.
Di sepanjang jalan, anjing-anjing tak henti menyalak. Anjing-anjing itu seakan mengiringi kepergian mayat-mayat itu. Bahkan ketika satu per satu para koruptor, mafia hukum, dan cukong kemanusian yang dahulu menyiksa, serta merampas hak rakyat dibenamkan ke dalam liang kubur, anjing-anjing masih terus mengonggong. Anjinganjing itu seperti sedang merayakan kemenangan atas demonstrasi keadilan. (28)
Sumber: Cerpen Risda Nur Widia (Suara Merdeka, 22 September 2019)

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda!

Profil Sekolah Binaan

SMK NEGERI 1 KAMAL DAN SMK NEGERI 2 BANGKALAN