Ia akan berusaha
memahami karakter orang lewat wajahnya. Meski, terkadang pula disadarinya wajah
bisa menipu.
TELAH datang di kota ini seorang lelaki yang menggenggam
belati. Sementara, angin masih saja mendayu. Segar dan dingin, menyegarkan
semua yang tersentuh. Dan, lelaki itu baru saja tiba dengan menumpang kereta
malam. Masih pula ia rasakan semilir angin yang menggerus badannya sampai
dingin. Sementara, pagi telah berjingkat, menari-nari bersama liukan cahaya
matahari. Di kota ini, ya, mencari siapakah dia di sini? Adakah kenalan lama?
Namun, di matanya begitu jelas terpancar kemilau cahaya
penuh dengan dendam. Dendam yang lama membara, berkobar-kobar, di dadanya. Kini
ia seakan langkahkan kaki dengan mantap. Menerjang belantara kota, mobil-mobil
yang memadat. Menyeret tubuhnya dengan kaki yang lunglai di bahu jalan, sambil
menggenggam belati. Terkadang, belati itu berkilauan diterpa cahaya, mengilap,
seperti siap menebas leher siapa saja. Barangkali, peristiwa ini akan menjadi
berita besar, yang dipublikasikan koran-koran daerah. Yang jelas, kerjaan
polisi akan pula bertambah banyak. Tetapi, itu baru kemungkinan pertama. Dan
keadaan ini akan diperburuk apabila ia benar-benar melakoni dendamnya itu.
Tampak pula, pakaiannya lusuh dan berdebu. Sepertinya, ia memang sudah tak
berganti baju berbulan-bulan. Segaris warna cokelat yang terlihat begitu pudar,
sudah lama melekat di situ.
Hari bergegas cepat, menukik begitu panik. Detik-detik jam
sekuat lalat terbang, merayapi langit yang mulai kelabu. Siang atau malam,
apakah pernah ada bedanya?
Sejenak, ia menahan napas. Memandang kota yang selalu
ramai, lalu-lalang kendaraan bagai ilalang. Semrawut. Sumpek, berdatangan tiada
henti. Singgah dari suatu tempat ke tempat lain. Membawa orang-orang baru yang
tak pernah dikenal sebelumnya. Ia akan berusaha memahami karakter orang lewat
wajahnya. Meski, terkadang pula disadarinya wajah bisa menipu. Dengan segera
kita menilai orang dari wajahnya saja, tidakkah hal-hal begitu itu tidak adil?
***
Hari pertama, ia masih berdiri di sini, menggenggam belati.
Barangkali, ia sudah siap menghadapi semuanya. Lalu, dilihatnya dengan saksama
kota ini. Kerlipan cahaya di mana-mana, malam hari yang menawan, berpendaran.
Membawanya rebah ke masa lalu:
“Tangkap! Tangkap orang itu!!!” seru seseorang dalam
kerumunan pasar. “Siapa?”
“Orang yang berjaket hitam itu!” “Kenapa?” seru yang lain.
“Pencuri!!” Maka berhamburanlah massa dari segala arah, “Pencuri! Kejar!!
Tangkap sampai dapat!!!”
Ia masih terengah-engah, napasnya terasa terlalu pendek
kali ini. Langkah kakinya semakin jauh, semakin lemah. Sesaat kemudian, ia
merasakan sekelebat tangan merogoh jaket. “Kena, lu!!” Ia terjerembap mencium
badan jalan. Tak lama, dari segala arah ia mendengar derap langkah, barisan
kaki yang mendekat. Bug-bug-bug. Badannya ngilu, perih. Dihujani pukulan dan
tendangan. Di sela bunyi pukulan itu, ia masih berusaha menahan dengan tangan.
Juga suara, “Bukan, bukan saya!” “Bohong! Mana ada maling yang mengaku! Kalau
mengaku, penjara pasti penuh!” Mendarat lagi berpuluh pukulan, berpuluh sepakan
kaki, pentungan besi, juga kayu. Gedebag-gedebug. Amis darah. Ia hanya bisa
pasrah. Mengucurlah darah kental di wajah yang lebam, membiru. Samar-samar
masih terdengar suara, “Sudah, bakar saja! Ya, bakar!” Beberapa orang ada yang
sudah mengambil bensin, siap untuk menyiram tubuh lelaki itu.
Untunglah, ada beberapa petugas yang melerai. Terkadang
petugas-petugas itu panik juga melihat massa semacam itu. Baginya, petugas itu
adalah dewa penyelamat meskipun datangnya begitu terlambat. “Tenang. Tenang,
Pak! Kita selesaikan lewat jalur hukum yang berlaku,” salah seorang petugas
berkata sekadar meredam aksi. Dan, ia, lelaki itu berdoa, berterima kasih pada
Tuhan. Tapi, mengapa ia hanya mengingat Tuhan pada saat kematian telah begitu
dekat? Atau mengapa pula ia harus mengingat Tuhan di kala sedang tertimpa
malang dan bencana? Tapi tidak pada waktu senang dan bahagia? Meski demikian,
ia merasa begitu lega. Samar-samar, petugas itu pun membawanya ke kantor
polisi.
“Jadi, kamu pencuri dompet ini?”
“Tidak! Tidak, Pak!!”
“Tapi, buktinya dompet ini ada di tangan kamu? Masih mau
mangkir?”
“Sebenarnya, sayalah yang ingin menolong bapak ini waktu
dicopet. Tetapi, sialnya, malah saya sendiri yang diteriaki maling,” lelaki itu
melafalkan kata dengan terbata-bata. Mulutnya masih gemetar dan menelan darah
yang terasa amat asin di pangkal lidahnya. Entah kenapa, meski sehabis
interogasi itu para petugas manut-manut. Namun, tetap saja ia yang dituduh
mencuri. Begitulah, pengadilan kemudian menetapkan hukuman penjara selama dua
tahun.
Ah, betapa kecewanya ia. Kecewa yang terus terendam hingga
sekian lama. Bukan ia yang berbuat, tapi kok ia yang mesti menjalani
hukumannya?
Sejak itu, ia merasa betapa hukum hanya bisa dikenakan bagi
orang kecil semacam dirinya. Orang kecil, yang meskipun bukan dirinya yang
bersalah, namun ganjaran pahitnya ia yang terima. Namun, untuk orang besar? Ah,
sudahlah!
Angin berputar-putar, menenggelamkan kenangan pahit. Angin
menyerap keasingan. Hening. Menerbangkan debu-debu sampai berkilometer jauhnya.
Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama 2 x 365 hari, ia mendekam di
balik jeruji besi yang dingin. Dengan makanan seadanya. 730 hari yang
dijalaninya bersama sekian puluh orang bermasalah. Makan nasi jagung yang
hampir basi di atas piring karatan. Apabila jam makan tiba, terkadang para
petugas menendangkan kaleng piring karatan itu lewat jeruji besi. Ya, untunglah
ia masih bisa bertahan hidup sampai sekarang. Dua tahun adalah rentang jarak
yang cukup lama, tanpa kenalan atau keluarga yang menjenguk. Sebab, dirinya
dianggap aib. Putaran waktu yang terasa panjang. Tidur setiap malam, dengan
puluhan nyamuk yang haus akan darah di atas lantai dingin. Ah, ia tak lagi
sanggup mengingatnya!
***
Kini, ia telah lewati dua tahun itu. Dengan bekal uang
pas-pasan, ia kembali ke kota ini. Setelah semalaman terkantuk menikmati
perjalanan kereta api ekonomi yang berbau apak. Maka, ia putuskan untuk
mengembalikan harga dirinya yang lama tercerai berai. Seakan ingin menuntut
haknya sebagai warga negara terhadap kota yang pernah ditinggalkannya, kota
yang pernah memenjarakannya. Tak sebegitu lama, ia membuat sketsa.
Mengendus-ngendus bagai seekor kucing mengenali ikan. Menelusup di antara
celah-celah sempit kota ini. Di gang-gang yang begitu jorok dan lembap.
Ia masih saja menggenggam belati, juga sebuah dendam.
Mencari-cari harga dirinya, yang sekian lama terkoyak. Tampak, begitu
berkilauan dan keyakinan yang terpancar di matanya itu begitu ngeri terlihat.
Ia susuri masa lalunya, ia masih hafal lekuk wajah pencopet yang sebenarnya. Ia
begitu mengingat dengan tegas wajah pencopet yang dulu mengakibatkannya mesti
menelan kenyataan pahit. Dengan muka bengkak, tak kunjung sembuh, ia seret
kakinya, ia seret dendamnya…
Ia telah lama mengintai pencopet itu, membiarkan tangan
sang pencopet yang begitu lihai mengambil apa saja. Entah dompet, perhiasan,
juga barang belanjaan. Kini, digenggamnya belati erat-erat, menahan segalanya
di dada. Kerja pencopet begitu cepat selesai. Rapi dan sempurna. Senja meluruh,
semakin jauh. Tinggal cahaya jingga yang barangkali tak akan lama segera pudar.
Dan, bayangan malam akan perlahan mendekati langit, menjemput cahaya jingga
yang hampir sekarat itu. Memeluk kota dengan warna gelap, kehitaman yang nyata.
Sebentar lagi, kegelapan itu akan lamat-lamat terganti
dengan cahaya byar-pet. Merkuri lampuan yang berkemilau, menyedot daya listrik
yang terus berpijaran. Ia intai pencopet itu, terus diikutinya. Langkah yang
diseret begitu tergesa. Memasuki gang-gang sempit kota ini. Malam yang membuka
ruas gelap. Malam yang menantang, menyulap rahasia. Ketika warna gelap
bergandengan, berdiam di cakrawala. Malam yang mengingatkan lelaki itu pada
suatu tempat, di masa lalu. Ketika dirinya dipukuli massa, hanya karena tuduhan
yang tidak benar.
Perlahan tapi pasti. Ia gulung langkahnya… mendekat…
mendekat dan mulai menikam dengan satu gerakan. Si pencopet terbelalak,
berucaplah lelaki yang membawa belati itu, “Karma! Semua harus ada balasannya.
Satu biji mata untuk satu biji mata, satu tangan, untuk satu tangan,”
muncratlah darah. Anyir. Lelaki itu menikamkan belati beringas. Seakan ingin
menuntaskan emosi lamanya. Ia begitu kalap, tubuhnya terasa sinting, tak
henti-hentinya. Sampai tubuhnya berkeringat, hingga ia merasa begitu lelah.
Lelaki itu tersenyum, entah untuk siapa. Namun, yang jelas, ia begitu lega saat
ini. Dan tak ada seorang pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang tahu…
Malam menyeruak, kota masih terus berbisingan. Lelaki itu
masih saja mengenggam belati, ada raut kemenangan yang tampak di sana. Tak
perlu lagi ia bersihkan darah itu. Toh, tak ada seorang pun yang tahu. Bergegas
ia melompat pergi, masih menyimpan belati. Belati yang masih berlumur darah.
***
Esoknya, dalam sebuah surat kabar lokal, tertulis sebuah
berita berjudul: “Ditemukan Mayat, Tak Ada Jejak Pembunuhnya.”
Nun, jauh di sana, lelaki itu bersiul sambil melipat surat
kabar. Di hadapannya tergeletak sebilah belati dengan darah yang telah kering…
2018-2019 (in memoriam Hamsad Rangkuti)
Alexander Robert Nainggolan. Lahir di
Jakarta. Bekerja sebagai staf Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) Kecamatan Menteng, Kota Adm Jakarta Pusat. Bukunya yang telah terbit,
antara lain, Kitab Kemungkinan (2012)
dan Silsilah Kata (2016)
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!