Semua cerita prosa di atas (cerpen, novel, roman, dan
drama) memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur
dari dalam karya sastra yang membangun terciptanya suatu karya sastra.
Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur di luar karya sastra, namun turut
berperan di dalam menentukan corak karya sastra tersebut, misalnya masalah
pendidikan pengarang, lingkungan pengarang, atau budaya yang berlaku saat
pengarang membuat karya sastra tersebut.
Macam-Macam Unsur Intrinsik:
1.
Tema
Tema ialah gagasan
pokok atau ide yan mendasari penulisan sebuah karya sastra. Ada hal yang perlu
diperhatikan dalam merumuskan tema sebuah karya sastra. Tema sebuah karya
sastra dirumuskan dengan sebuah kalimat pendek, misalnya kegigihan seorang
pemuda dalam menggapai cita-citanya.
2.
Perwatakan
Perwatakan tokoh ialah
karakter yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku tokoh. Ada beberapa
cara yang digunakan pengarang dalam menggambarkan watak tokoh antara lain
sebagai berikut.
(1) Penjelasan langsung dari
pengarang (tertulis)
Pengarang
menggambarkan watak tokoh dalam ceritanya dengan menyebutkannya di dalam
ceritanya.
(2) Dialog antartokoh
Pengarang melukiskan
watak tokoh melalui dialog atau percakapan antartokoh.
“Aku merasa ringan, kini aku sudah
menceritakan kepada kalian di depan Wak Katok beban dosa yang selama ini
menghimpit hatiku dan kepalaku. Aku sudah mengakui dosa-dosaku, dan tolonglah
doakan supaya Tuhan suka kiranya mengampuni dosa-dosa Wak Katok…”. Pak Balam
mendekatkan kedua belah telapak tangan seperti berdoa, dan mulutnya
komat-kamit. Pak Haji bertakbir, perlahan-lahan,”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar!”
(Harimau-Harimau,
Muchtar Lubis)
Watak Pak Balam dalam kutipan tersebut adalah jujur, yaitu karena
dia mengakui dosa yang telah diperbuatnya di depan teman-temannya.
(3) Tanggapan atau reaksi
dari tokoh lain terhadap tokoh utama
Watak tokoh diketahui dari tanggapan atau reaksi tokoh lain atas sesuatu
yang dilakukan oleh tokoh utama.
(4) Pikiran-pikiran dalam
hati tokoh
Watak tokoh diketahui dari hal-hal yang ada dalam pikirannya. Apa yang
dikatakan oleh tokoh tersebut kepada dirinya sendiri dapat mencerminkan
bagaimana watak tokoh tersebut.
Dalam suatu karya prosa, apa yang dipikirkan atau dirasakan tokoh sering
diungkapkan oleh pengarang dengan kata-kata di dalam karyanya. Dengan demikian,
apa yang dipikirkan tokoh tersebut dapat diketahui oleh pembaca sehingga
pembaca dapat mengetahui bagaimana perwatakan tokoh tersebut.
(5) Lingkungan di sekitar tokoh
Lingkungan berperan besar dalam menentukan perwatakan seorang tokoh. Tokoh
yang tinggal di pesantren, misalnya, kemungkinan besar memiliki watak yang
baik, taat beribadah, dan beriman kuat. Sementara itu, tokoh yang tinggal di
lingkungan prostitusi akan memiliki watak yang tidak baik, misalnya tidak kuat
iman, emosional, dan tidak mau diatur. Namun demikian, tidak selamanya tokoh
yang berada di lingkungan baik akan menjadi tokoh baik pula dan sebaliknya,
tokoh yang berada di lingkungan buruk akan menjadi tokoh yang buruk pula.
(6) Bentuk fisik tokoh
Bentuk fisik tokoh juga memengaruhi
bagaimana watak tokoh tersebut. Seseorang yang berbadan besar, berkulit hitam,
bertato, berambut gimbal biasanya akan menjadi tokoh yang berwatak ugal-ugalan,
emosional, sadis. Sebaliknya, seseorang yang berambut klimis atau rapi,
berkulit bersih, berbaju rapi akan dideskripsikan sebagai tokoh yang baik dalam
cerita tersebut.
Sama seperti faktor lingkungan, faktor
fisik tidak selalu menjadi jaminan perwatakan tokoh yang sesungguhnya. Ada hal
lain yang dapat memengaruhi perwatakan tokoh tersebut.
(7) Tingkah laku, tindakan tokoh, atau reaksi tokoh
terhadap suatu masalah
Tingkah laku, tindakan,
dan reaksi tokoh merupakan cerminan watak tokoh tersebut. Jika melihat orang
yang dianiyaya, misalnya, apa yang dilakukan oleh tokoh pada saat menyaksikan
penganiyayaan tersebut merupakan penggambaran wataknya. Apakah tokoh tersebut
diam saja ataukah membantu orang yang dianiaya menjadi cerminan watak tokoh
yang sesungguhnya.
Penggambaran watak tokoh berdasarkan
sifatnya dibedakan menjadi tiga, yaitu:
(1) tokoh protagonis, yakni tokoh yang disukai oleh
pembaca karena sifat-sifatnya yang baik;
(2) tokoh antagonis, yakni tokoh yang tidak disukai oleh
pembaca karena sifat-sifatnya yang buruk;
(3) tokoh tritagonis, yakni tokoh penengah yang biasanya
berperan sebagai penengah dalam menyelesaikan masalah. Kedudukannya berada di
antara protagonis dan antagonis.
3. Latar
(Setting)
Latar cerita ialah keterangan mengenai waktu,
ruang/tempat, dan suasana terjadinya cerita.
Mereka melihat harimau melepaskan Pak
Balam dan terus berlari, menghilang ke dalam hutan yang gelap. Dengan cepat
mereka berlari ke tempat Pak Balam terbaring. Dalam cahaya yang samara-samar
dari pohon kayu yang menyala, mereka melihat betapa kaki kiri Pak Balam hancur
betisnya karena gigitan harimau, daging dan otot betisnya koyak hingga
kelihatan tulangnya yang putih dan darah mengalir amat banyak.
Pak Balam koyak-moyak, dan seluruh
badannya penuh dengan luka-luka kecil dan gores-gores merah kena duri, batu,
dan kayu ketika dilarikan harimau. Mukanya berdarah. Darah keluar dari
hidungnya, dari mulutnya. Pak Balam kelihatan pingsan, tak sadar diri, dia
hanya terbaring di sana mengerang-ngerang.
(Harimau-Harimau,
Muchtar Lubis)
Latar yang sesuai dengan
pengalan novel di atas adalah di hutan rimba, di kegelapan malam, dalam suasana
berduka dan mencekam.
4. Alur (Pot)
Alur atau plot ialah
rangkaian atau jalinan peristiwa yang saling berhubungan antara satu dengan
yang lain dan membentuk sebuah kesatuan cerita.
Tahap-tahap alur meliputi:
(1) permulaan (pengenalan cerita/ eksposisi)
(2) pertikaian (konflik)
(3) perumitan (komplikasi/
konflik semakin meruncing)
(4) puncak (klimaks/ titik
intensitas tertingi dari suatu konflik)
(5) akhir (denoument/
pemecahan masalah ditemukan)
(6) katastrofa (nasib pelaku
utama ditentukan)
5. Sudut
Pandang (Point of View)
Sudut pandang ialah cara pengarang mengisahkan/menceritakan suatu kejadian.
Sudut pandang dibedakan menjadi tiga: orang I, orang III, atau campuran (orang
I dan orang III).
a. Sudut Pandang Orang I (Akuan):
(1) Orang I sebagai tokoh utama
Pengarang sebagai pelaku utama yang
diceritakan.
(2) Orang I sebagai pengamat
Pengarang hanya menceritakan tokoh-tokoh lain, namun
pengarang ikut hadir dalam cerita.
b. Sudut Pandang Orang III
1) Orang III serba tahu
Melaporkan semua tindak tanduk yang
sangat pribadi dari pelaku.
2) Orang III terarah
Melaporkan
tindak-tanduk yang terpusat pada satu karakter.
Pak Balam
menutup matanya kembali, dan dia terbaring demikian, letih telah berbicara
begitu banyak.
Mereka
duduk mengelilinginya dengan pikiran masing-masing. Cerita Pak Balam
menimbulkan kesan yang dahsyat sekali dalam hati mereka. Mereka ingin dapat
selamat sampai ke kampung, meninggalkan hutan dengan harimau maut jauh-jauh di
belakang. Akan tetapi, mengakui dosa-dosa di depan kawan semua.
(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)
Sudut
pandang dalam pengalan novel di atas adalah orang III serba tahu karena
melaporkan semua tindak-tanduk tokoh, yaitu Pak Balam dan mereka.
6.
Amanat
Ialah pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca melalui isi cerita yang dikarangnya. Amanat yang
disampaikan dapat secara langsung (tersurat/tertulis) melalui dialog antartokoh
dalam cerita atau secara tidak langsung (tersirat).
Kemudian Pak Balam menutup matanya
kembali, dan memandang mencari muka Wak Katok, dan ketika pandangan mereka
bertaut, Pak Balam berkata kepada Wak Katok,” Akuilah dosa-dosamu, Wak Katok,
dan sujudlah ke hadirat Tuhan, mintalah ampun kepada Tuhan Yang Maha Penyayang
dan Maha Pengampun, akuilah dosa-dosamu, juga kalian, supaya kalian dapat
selamat keluar dari rimba ini, terjauh dari rimba dan, terjauh dari bahaya yang
dibawa harimau … biarlah aku yang jadi korban…”
(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)
Amanat yang terkandung dalam kutipan
tersebut adalah “Bertobat dan minta ampunan atas segala dosa yang telah
diperbuat, pasti Tuhan akan mengampuninya, dan hidupmu akan selamat.”
7.
Nilai
Dalam sebuah karya sastra terkandung
nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara lain:
a. nilai moral
Berkaitan
dengan akhlak atau budi pekerti yang baik atau buruk.
b. nilai sosial
Berkaitan dengan norma-norma dalam
kehidupan masyarakat, misalnya saling memberi, menolong, dan tenggang rasa.
c. nilai budaya
Yaitu konsep mengenai masalah dasar
yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia, misalnya adat
istiadat, kesenian, kepercayaan.
d. nilai estetika
Berkaitan dengan seni dan keindahan
dalam karya sastra, misalnya tentang bahasa, alur, atau tema.
Dari sebuah kantung di dalam keranjang
besarnya, Wak Katok mengeluarkan daun ramu-ramuan. Mereka membersihkan
luka-luka Pak Balam dengan air panas dan Wak Katok menutup luka besar di betis
dengan ramuan daun-daun yang kemudian mereka membungkus dengan sobekan kain
sarung Pak Balam. Wak Katok merebus raman obat-obatan sambil membaca
mantera-mantera, dan setelah air mendidih, air obat kemudian dituangkan ke
dalam mangkok dari batok kelapa. Setelah air agak dingin, Wak Katok
meminumkannya kepada Pak Balam sedikit demi sedikit.
(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)
Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan
novel tersebut adalah memberi pertolongan kepada orang yang sedang sakit. Nilai
budayanya adalah membungkus luka dengan sobekan kain, pemakaian ramuan dari
daun-daun, dituangkan di mangkuk yang terbuat dari batok kelapa kemudian
dimantera-mantrai.
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!