Dari kamar ibu yang tertutup
melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi
ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira
bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan
membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati
rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut.
Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut
setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh
tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera
bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu,
aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar
belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah
tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan,
tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun
terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah
mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami
untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah
abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak
terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam
itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya
bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam.
Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang
becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah,
ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya
tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih
untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu
rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh
teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah
menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan
terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh
bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku
pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata
abah.
Sesampainya di depan rumah,
tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau.
Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur
berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang
teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan,
membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang
orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu
tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang,
Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar
dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya
kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan,
Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok
warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang
sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka
pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau
bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah
terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi
abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding
papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama
sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem
kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu
hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya
acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa
dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku
bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa
waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan
mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda,
semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta
aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu
aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah
ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa
untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada
akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak
dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak
peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali
menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan
terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit.
Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami
yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku
dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu
selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir
kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang
selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi
dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa
kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan
air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami
pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap
lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut
ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela
lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari
keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami.
Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya
ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang
kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika
kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam,
kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu
kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke
dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu
kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir
dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami
melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya,
mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di
tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut
itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu
memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun
kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang
yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di
sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar.
Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu
hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga
menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang
pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul
dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah
dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar
hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya.
Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan
untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata.
Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu,
dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi
memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah
setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin,
tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan
ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!