Wednesday, September 25, 2019

SEPOTONG TANGAN

Pagi saat istrinya tak lagi bangun dari tidur, ia menunggu cukup lama di samping perempuan tua itu. Biasanya, istrinya selalu bangun lebih dulu. Menyiapkan sarapan, sedikit berdandan, lalu jika perempuan tersebut sedang ingin memanjakan suaminya, ia akan membawa sarapan ke atas kasur. Membiarkan aroma harum kopi susu menguar ke hidung lelaki terkasihnya dan membuatnya terjaga.

Ranjang adalah tempat favorit keduanya. Tak hanya tempat mereka tidur, tetapi juga tempat panas saat terbakar asmara, hingga saat tubuh keduanya tak lagi perkasa dan ranjang menjadi dingin dan keduanya memindahkan televisi ke dalam kamar sebagai hiburan juga tumpukan buku sebagai bacaan. Ada satu yang tak pernah berubah, mereka tak pernah bosan berpegangan tangan.
Tiga puluh tujuh tahun, dan tak satu anak pun yang lahir dari rahim sang istri. Mereka sudah melewati tahun-tahun saat perempuan tua itu mengutuki dirinya sendiri. Ada saat sang istri tak hendak melepas genggaman suaminya, mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Kekhawatirannya akan kemungkinan lelaki itu berpaling ke perempuan yang lebih muda -dan lebih subur- sempat membuncah. Toh lelaki itu tetap membiarkan istrinya menggenggam tangannya, membuat cincin kawin keduanya beradu, menjadikan tangan mereka basah keringat, dan lelaki itu justru lebih erat lagi menggenggam tangan istrinya.
Tahun-tahun berlalu, mereka sedikit demi sedikit mengubur impian purba mereka. Tak ada anak. Selanjutnya, entah dari mana atau kapan atau bagaimana tepatnya, rumah mungil mereka telah penuh dengan kucing. Padahal dulu, mereka selalu berpikir bahwa bulu kucing tak baik bagi pernapasan anak. Kini kucing-kucing betah berkumpul di rumah itu. Tak satu pun kucing yang datang diusir, semua bebas datang.
"Aku akan berlangganan susu lebih banyak untuk kucing-kucing itu," ujar sang istri pada suatu hari.
Dan, hingga pagi saat perempuan itu tak lagi bangun dari tidurnya, tukang susu masih mengantar dua krat susu segar dalam botol yang ia letakkan di depan pintu. Kucing-kucing juga masih mengeong seakan menuntut minuman pagi mereka. Sang suami juga masih menunggu istrinya bangun. Matahari menyelipkan sinarnya, menjatuhkan terangnya ke wajah perempuan tua itu.
Lelaki itu merasa damai melihat wajah istrinya. Ada rasa syukur yang menyelip di hatinya karena memiliki perempuan itu dalam hidupnya dan ia tak ingin berpisah. Tapi lama ia menunggu, perempuan itu tak kunjung membuka mata, sedang kucing-kucing mengeong semakin santer menuntut susu mereka. Maka digenggamnya tangan perempuan itu. Dingin menjalar di antara tangannya yang keriput.
Lelaki itu tersentak. Ia mulai curiga, ada yang salah pada perempuan terkasihnya. Kemudian dia mengguncangkan tubuh tak bernyawa itu dengan lembut. Tetapi ia tak kunjung bangun, ia mengguncang tubuh perempuan itu lebih keras. Tetapi mata tuanya tetap tak terbuka. Lalu disentuhnya wajah istrinya, dingin kembali menjalar di antara kulitnya yang tak kenyal. Ia tak merasakan napas dari hidung istrinya. Saat itulah dia tahu, bahwa di rumah itu kini tinggal dirinya dan kucing-kucingnya. Tangisnya pecah.
Pagi saat lelaki tua itu tahu bahwa istrinya telah meninggal dalam tidurnya dan tak hendak bangun lagi, ia memeluk erat-erat tubuh perempuan itu. Dia menangis hebat sambil tak henti memanggil-manggil nama istrinya. Kucing-kucing terus mengeong-ngeong, seperti mencoba membangunkan tuannya.
Menjelang siang, lelaki itu keluar dari kamarnya. Mengamati ruangan yang kini terasa kosong. Kucing-kucing bersebaran di sekitar ruangan. Tak ada kopi susu hangat, tak ada telur orak-arik, tak ada istrinya. Sejenak, dua jenak, beberapa jenak, lelaki itu bingung akan apa yang musti dilakukannya kini. Ia baru menyadari, bahwa selama ini istrinyalah yang mengurus dirinya. Membuatkan makanan, mengingatkannya untuk segera mandi.
Kini dia betul-betul tak tahu apa yang akan dilakukannya. Dilihatnya istrinya, yang masih dengan gaun tidur dan tergeletak dengan mata terpejam di ranjang. Ia berpikir keras, ia belum pernah menangani orang mati. Lalu menghampiri istrinya dan menggenggam tangan dingin perempuan itu, menyiumnya berkali-kali, menangis lagi.
Lelaki itu akhirnya memutuskan akan meminta tolong seseorang. Ia ganti baju, keluar rumah. Dilihatnya kucing-kucing berkumpul di depan pintu masuk. Salah satu kucing sudah menjatuhkan botol susu hingga pecah dan mereka mengerumuminya, menjilatinya.
Lelaki itu akan keluar dan minta tolong seseorang, tetapi pertama-tama ada yang harus dia lakukan terlebih dulu karena tak mungkin dia sanggup bepergian sendirian. Selama ini dia selalu bepergian dengan istrinya, saling berpegangan tangan. Dia menuju gudang. Mengambil gergaji mesin lalu kembali ke kamar.
"Sayang, kita harus keluar dan cari pertolongan," katanya. Ruangan gemuruh suara gergaji mesin saat lelaki itu menekan tombol 'on'. Diraihnya lengan kanan istrinya, jari manisnya masih berhias cincin perkawinan. Lelaki tersebut mulai menggergaji tangan istrinya tepat di siku. Ia -dan lengan istrinya- kini siap pergi keluar mencari pertolongan untuk menangani orang mati.
Ia meninggalkan kucing-kucing dan rumah yang pintunya tak dikunci. Bahkan jendela-jendela pun belum dibuka tirainya. Jujur saja, lelaki itu tak benar-benar tahu ke mana ia akan pergi. Ia hanya tahu, bahwa ia harus pergi dan minta tolong orang lain untuk mengurus kematian.
"Sayang, kita akan ke mana?" tanyanya pada lengan istrinya.
"Aku tahu, kita ke rumah adikmu saja, ya?"
Saat dia tiba, anak-anak adik iparnya yang tadinya hendak menyambut kedatangannya dengan ceria, tiba-tiba berteriak keras dan masuk ke rumah menemui ibunya, mengadu bahwa paman mereka datang membawa sepotong tangan.
Lelaki itu terpaksa memencet bel berkali-kali agar dibukakan pintu. Mendengar anak-anaknya mengadu demikian, adik ipar membawa pentungan sambil membuka pintu. Ia mengintip sejenak dari jendela. Memang betul apa yang dikatakan anak-anaknya: paman mereka datang dengan membawa sepotong tangan.
Pintu dibuka, adik ipar gemetar, "A... ada apa?"
Ia menyembunyikan pentungan di balik punggungnya. Anak-anaknya mengintip dari ruang sebelah. "Tolong, istriku meninggal. Bisakah kau bantu menguburnya?" ia memohon sambil menangis. Tangannya tak lepas menggenggam lengan istrinya.
Demi melihat pemandangan itu, perempuan itu berteriak keras-keras seraya memukul-mukulkan pentungannya ke arah yang tak menentu. Lelaki itu kebingungan. Keributan terjadi. Orang-orang berkumpul, semua tersentak melihat pemandangan: laki-laki tua pingsan dengan sepotong tangan tergeletak di sebelahnya.
Saat tersadar, lelaki itu sudah berada di kantor polisi. Para wartawan mengerumuninya. Mereka memberitahunya bahwa mayat istrinya. Mereka telah memeriksa rumahnya dan menemukan mayat istrinya tergeletak tanpa tangan kanan. Wartawan bahkan sudah menyiapkan berita: 'Seorang Kakek Memotong Tangan Kanan Istrinya Hingga Tewas.' Sebuah berita pembunuhan.
"Tidak!" sanggahnya, "aku memotong lengan istriku saat ia sudah meninggal karena aku harus cari pertolongan." Air matanya menetes.
"Lalu kenapa kamu tak pergi sendiri? Kenapa harus memotong tangan istrimu segala?"
Introgasi itu berlangsung melelahkan. Polisi mengetik setiap pengakuannya.
"Aku selalu ke mana-mana dengan istriku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan tanpa dia. Karena membawa mayat sangat berat, dan aku tak ingin menakut-nakuti orang, maka aku membawa tangannya saja," jelasnya.
Keluarga besar mendiang istrinya tak percaya pada penjelasannya yang terdengar aneh. Mereka menangis keras-keras atas kematian anggota keluarga mereka yang tragis, dan merasa kasihan atas kemalangan perempuan itu, sebab telah menikah 37 tahun dengan laki-laki gila.
"Aku tidak gila!" lelaki itu menyanggah. "Aku hanya ingin memakamkan istriku dengan layak tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku bingung tanpa istriku," wajahnya sangat sedih, air matanya mengalir. Orang-orang tetap tak percaya.
Seorang petugas polisi memasuki ruangan, membawa hasil otopsi, untuk dibacakan di depan semua. Tiba-tiba, seorang gadis kecil, keponakan lelaki itu, maju ke kerumunan dan bertanya, "Paman, kenapa paman memotong tangan bibi? Sekarang bibi jadi meninggal."
Semua wartawan memerhatikannya. Mengarahkan kamera dan mikrofon ke gadis kecil itu. Gadis itu adalah anak terkecil adik iparnya yang paling muda.
"Aku tidak memotong tangannya sebelum dia meninggal, Nak. Tak mungkin aku tega berbuat begitu. Aku sangat menyintai bibimu. Aku memotongnya setelah dia meninggal."
"Kenapa dipotong?" tanyanya lugu.
"Karena aku tak bisa hidup tanpa dia, Nak. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat tanpa dia. Aku tak mungkin pergi cari bantuan dengan membawa mayatnya, terlalu berat untukku. Maka aku memutuskan untuk membawa tangannya saja. Sebab, aku butuh kekuatan dari perempuan yang sangat kucintai. Aku ingin menggenggam tangannya agar aku kuat."
Ruangan henyap. Tak ada yang berbicara, tak terdengar mesin ketik berbunyi, tak terdengar suara kamera memotret. Keponakan kecil itu memandangi pamannya, dan berkata, "jika aku punya suami kelak, aku ingin yang seperti paman."
Lalu, terdengar bisik-bisik suara hati di ruangan itu: Ya, aku ingin laki-lakiku memotong tanganku.

(Sumber: Cerpen “Sepotong Tangan” Karya Ratih Kumala)

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda!

Profil Sekolah Binaan

SMK NEGERI 1 KAMAL DAN SMK NEGERI 2 BANGKALAN