Wednesday, August 7, 2019

SEKARUNG BERAS


Matahari masih sepenggalah, beberapa remaja tanggung berjalan menyusuri pematang; mencari sisa-sisa tomat atau timun yang tak terambil oleh pemiliknya saat panen usai. Setelah merasa cukup, segera mereka berlarian menuju galengan (sungai kecil buatan sebagai irigasi) untuk mencucinya.
Sambil menuju rumah Pak Carik (sekretaris desa), buah-buah itu menjadi teman perjalanan yang mengasyikkan. “Dari mana kalian, Le?” tanya Pak Carik kepada kami setibanya kami di depan rumah paling besar di desa kami. “Dari sawah nyari tomat, Pak.” jawab Tukiyo. “Kalian sekolah di mana?” tanya Pak carik kemudian. “Tidak sekolah, Pak” jawab Kirman, Anton, dan Tukirin hampir bersamaan. Tukiyo tak menjawab karena sedang melahap sebutir tomat yang masih tersisa di tangan kanannya. “Kalian apa gak pingin hidup enak, seperti aku? Kalau pingin, kalian harus sekolah. Ya sudah. Kalau mau nonton Tivi, jangan ada yang berisik! Sandal jangan dibawa masuk!” Kata-kata itu menjadi pengantar yang selalu didengar oleh siapa saja yang hendak menonton televisi di rumah beliau. Waktu itu, beliaulah satu-satunya warga di desa itu yang memiliki televisi. Hingga tak aneh bila pada acara-acara televisi yang menjadi kegemaran masyarakat, rumah Pak Carik seperti pasar malam yang berjubel orang, namun diam dalam kesunyian menyaksikan acara demi acara dari Indonesia Raya hingga Rayuan Pulau Kelapa.
Suara jangkrik bersahutan, menanda malam berkisah kesunyian. Dengan selembar keberanian, Tukiyo berkata, “Mbok, aku pingin sekolah.” Bak disambar halilintar, jawaban simboknya memekakkan gendang telinga, “Sekolah gundhulmu! Sekolah digawe apa? Sing penting kowe isa maca lan nulis. Cukup!” Tukiyo pun tak menyerah, “Pokoknya aku pingin sekolah, Mbok. Bagaimana pun caranya. Teman-temanku yang lain juga sudah diizinkan untuk sekolah.”
Bertahun telah berlalu. Hingga akhirnya, Tukiyo menjadi seorang guru SD setelah sekian tahun berjuang dalam kegetiran dan telah hidup berbahagia dalam keterbatasan ekonomi bersama seorang istri dan ketujuh anaknya. Hingga pada suatu senja, ada rahasia yang baru terbuka. Kisah itu kami simak dengan saksama. “Sebelum berangkat ke sekolah, setiap awal pagi, jauh sebelum mentari menampakkan diri, aku telah bergumul di kandang untuk memberi makan kerbau, sapi, dan kambing.  Sepulang sekolah, aku segera menuju batas desa untuk mencari rumput dan dedaunan bagi ternak-ternak orang kaya itu. Bertahun aku jalani, tanpa upah sepeser pun. Yang penting bagiku, bisa melanjutkan sekolah dan menjadi seorang guru, seperti yang kucita-citakan sejak kecil. Sekarung beras, menjadi awal perjalananku. Ya, aku dijual oleh simbok, nenek kalian, kepada seorang kaya di desa sebelah hanya dengan sekarung beras. Untuk itu, aku harus merawat dan mencarikan makanan bagi ternak-ternaknya.” Kami semua terdiam mendengar kisah itu setelah sekian waktu tak pernah tahu. Hiduplah dengan damai di Kerajaan Sorga, Pak. Tanpa perjuanganmu, kami, ketujuh anakmu dan berpuluh cucumu ini tidak akan pernah bisa menjadi sarjana, seperti sekarang ini. Sekarung beras telah menjadi prasasti tentang perjuangan Bapak dan perjalanan kami, anak-anak dan cucu-cucumu.


2 comments:

  1. Terharu..sampai menitikkan air mata. Ingat Bapak saya jg yg sudah tiada. Semoga tenang di Isinya. Doa kami selalu untuk setiap tetes keringat perjuangin.
    Cerita yg sangat menginspirasi...👍

    ReplyDelete
  2. Terima kasih telah berkenan membaca!

    Salam Literasi!

    ReplyDelete

Berikan komentar Anda!

Profil Sekolah Binaan

SMK NEGERI 1 KAMAL DAN SMK NEGERI 2 BANGKALAN