GEBRAKAN awal Nadiem
Anwar Makarim cukup mengejutkan. Itulah yang dirasakan oleh sebagian besar
pendidik dan peserta didik saat gagasan “Merdeka Belajar” dikemukakan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan dalam siaran pers pada Rabu, 11 Desember 2019. Kebijakan tersebut
menjadi angin segar setelah sekian waktu kemerdekaan guru “terbelenggu”, baik dalam
perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian pembelajaran, termasuk carut-marutnya
penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur zonasi awal Juli lalu.
“Merdeka
Belajar” berisi empat
program kebijakan pendidikan yang akan dilaksanakan pemerintah. Kebijakan
tersebut berkaitan dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB).
Ada
dua pertanyaan besar. Pertama, mampukah program tersebut memerdekakan peserta
didik dari tekanan berbagai penilaian, sementara hasilnya belum dapat dijadikan
penentu kualitas pendidikan? Kedua, akankah guru benar-benar merdeka dari
belenggu perencanaan dan pelaksanaan, serta penilaian pembelajaran?
Tidak
dapat dimungkiri bahwa berbagai
macam penilaian merupakan suatu keniscayaan dalam pendidikan. Sebagai gambaran,
peserta didik yang akan naik kelas harus melalui beberapa tahap penilaian,
mulai penilaian harian, penilaian tengah semester, penilaian akhir semester
atau akhir tahun, dan pada akhir jenjang, wajib mengikuti USBN dan UN.
USBN dan UN: Kenyataan dan Harapan
Pemerintah
membuat kebijakan baru, yakni menghapus USBN pada 2020 dan menggantinya dengan asesmen sekolah. Sebenarnya, UU Sisdiknas memberikan
keleluasaan untuk menentukan kelulusan melalui asesmen sekolah. Sekolah, dengan
demikian, dapat melaksanakannya secara mandiri, baik berupa ujian tertulis untuk
semua mata pelajaran, maupun jenis asesmen lain, yakni asesmen yang mampu
mengembangkan kompetensi bernalar peserta didik.
Asesmen tertulis memang dapat
diterapkan untuk mengukur kompetensi pengetahuan, pemahaman, penerapan, dan
penalaran. Akan tetapi, jika model tersebut selalu dilakukan, tentu saja kurang
dapat mengukur kompetensi peserta didik secara menyeluruh. Untuk itu,
diperlukan asesmen lain yang mampu merangsang kemampuan berpikir dan
berargumentasi. Sebagai contoh, peserta didik diminta membuat produk, laporan
kajian sederhana, atau menyusun gagasan sesuai materi pembelajaran, Hal yang
demikian akan dapat mengubah pola berpikir kreatif peserta didik.
Sementara itu, UN tahun 2020 adalah
UN kali terakhir. Hal itu menjadi penting karena selama ini UN menjadi beban psikologis
guru, sekolah, orangtua, dan terutama peserta didik. Ada stigma yang berkembang
di masyarakat bahwa keberhasilan peserta didik dan kualitas sekolah ditentukan
oleh hasil UN yang notabene hanya
dilaksanakan dalam beberapa hari dan pada beberapa mata pelajaran.
Oleh sebab itu, berbagai upaya
dilakukan agar nilai UN bagus. Peserta didik mengikuti bimbingan belajar. Untuk
itu, ada biaya tambahan yang harus dialokasikan oleh orang tua. Guru memberikan
latihan soal-soal UN. Sekolah mengadakan pembelajaran intensif, khusus mata pelajaran
yang di-UN-kan. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan: nilai. Keberhasilan
peserta didik memiliki akhlak terpuji, kemandirian, tanggung jawab, dan
lain-lain yang dipupuknya selama tiga tahun hanya dipandang sebelah mata ketika
melihat hasil UN-nya rendah.
Meskipun terlambat, Kemdikbud
menyadari hal tersebut. UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan
Survei Karakter yang dilakukan di kelas 4, 8, dan 11. Hal itu dilakukan untuk
mendorong pendidik dan satuan pendidikan memperbaiki kesalahan. Bukan nilai
yang berupa angka-angka yang harus diutamakan, melainkan kompetensi holistik
peserta didik.
Untuk tujuan tersebut, kemampuan literasi
perlu ditingkatkan, baik yang
berkaitan dengan membaca, matematika, maupun kinerja sains. Hasil laporan Program for International Student
Assessment (PISA) pada 2018 yang baru saja dirilis pada Selasa, 3
Desember 2019 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar dari bawah di antara
79 negara yang disurvei.
Hal itu mendesak untuk segera dilakukan karena Indonesia akan
memasuki masa bonus demografi. Pada 2030 s.d. 2040 jumlah penduduk usia
produktif mencapai 64 persen. Bonus demografi adalah peluang sekaligus
tantangan. Jika mampu menyiapkan SDM berkualitas, Indonesia akan menjadi negara
besar. Sebaliknya, apabila gagal, akan menjadi bencana. Mewujudkan pendidikan
yang berkualitas adalah salah satu upaya yang harus dilakukan.
RPP: Administrasi yang
Melelahkan
Banyak
tugas guru yang harus dikerjakan di luar jam mengajar. Guru harus menyiapkan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus diketik secara detail. Tebal
RPP bisa mencapai seratus halaman per semester per jenjang. Bayangkan jika
mengajar di dua atau tiga jenjang. Ironisnya, RPP harus dicetak, bahkan dijilid
sebagai bukti bahwa guru telah membuat RPP.
Kebijakan
Kemdikbud memangkas RPP menjadi tiga
komponen inti (tujuan, kegiatan, dan asesmen), sementara komponen lainnya
bersifat pelengkap menjadi oase menyejukkan. Guru akan
memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan pembelajaran agar lebih
baik.
Format
Baru PPDB Zonasi
Masih teringat dengan jelas saat
banyak calon peserta didik menangis karena tidak mendapatkan sekolah yang
diinginkan karena di daerah tempat tinggal mereka tidak terdapat sekolah
negeri. Bahkan, calon peserta didik yang rumahnya hanya berjarak kurang dari
600 meter, terpaksa gagal mendapatkan sekolah negeri. Sebaliknya, minimal 80
persen calon peserta didik yang bertempat tinggal sangat dekat dari sekolah,
tersenyum bahagia. Berapa pun nilai UN mereka, akan diterima.
Carut marut PPDB tahun pelajaran
2019/2020 menjadi pembelajaran yang berharga bagi Kemdikbud. Oleh sebab itu,
PPDB yang akan datang menggunakan format baru meskipun tetap zonasi. Alangkah
baiknya jika persentase zonasi ditentukan oleh daerah masing-masing karena
setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Semoga “Merdeka Belajar” benar-benar
mampu menjadi program yang memutuskan belenggu kemerdekaan pendidikan
Indonesia. Sudah saatnya kita bangkit dari keterpurukan untuk mengejar
ketertinggalan. Kita adalah bangsa besar yang memiliki semua potensi. Kita
pasti bisa. (*)
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!