Tuesday, January 21, 2020

MERDEKA BELAJAR: MENAKAR KEBIJAKAN KEMDIKBUD


GEBRAKAN awal Nadiem Anwar Makarim cukup mengejutkan. Itulah yang dirasakan oleh sebagian besar pendidik dan peserta didik saat gagasan “Merdeka Belajar” dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam siaran pers pada Rabu, 11 Desember 2019. Kebijakan tersebut menjadi angin segar setelah sekian waktu kemerdekaan guru “terbelenggu”, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian pembelajaran, termasuk carut-marutnya penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur zonasi awal Juli lalu.

“Merdeka Belajar” berisi empat program kebijakan pendidikan yang akan dilaksanakan pemerintah. Kebijakan tersebut berkaitan dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Ada dua pertanyaan besar. Pertama, mampukah program tersebut memerdekakan peserta didik dari tekanan berbagai penilaian, sementara hasilnya belum dapat dijadikan penentu kualitas pendidikan? Kedua, akankah guru benar-benar merdeka dari belenggu perencanaan dan pelaksanaan, serta penilaian pembelajaran?
Tidak dapat dimungkiri bahwa berbagai macam penilaian merupakan suatu keniscayaan dalam pendidikan. Sebagai gambaran, peserta didik yang akan naik kelas harus melalui beberapa tahap penilaian, mulai penilaian harian, penilaian tengah semester, penilaian akhir semester atau akhir tahun, dan pada akhir jenjang, wajib mengikuti USBN dan UN.
USBN dan UN: Kenyataan dan Harapan
Pemerintah membuat kebijakan baru, yakni menghapus USBN pada 2020 dan menggantinya dengan asesmen sekolah. Sebenarnya, UU Sisdiknas memberikan keleluasaan untuk menentukan kelulusan melalui asesmen sekolah. Sekolah, dengan demikian, dapat melaksanakannya secara mandiri, baik berupa ujian tertulis untuk semua mata pelajaran, maupun jenis asesmen lain, yakni asesmen yang mampu mengembangkan kompetensi bernalar peserta didik.
Asesmen tertulis memang dapat diterapkan untuk mengukur kompetensi pengetahuan, pemahaman, penerapan, dan penalaran. Akan tetapi, jika model tersebut selalu dilakukan, tentu saja kurang dapat mengukur kompetensi peserta didik secara menyeluruh. Untuk itu, diperlukan asesmen lain yang mampu merangsang kemampuan berpikir dan berargumentasi. Sebagai contoh, peserta didik diminta membuat produk, laporan kajian sederhana, atau menyusun gagasan sesuai materi pembelajaran, Hal yang demikian akan dapat mengubah pola berpikir kreatif peserta didik.
Sementara itu, UN tahun 2020 adalah UN kali terakhir. Hal itu menjadi penting karena selama ini UN menjadi beban psikologis guru, sekolah, orangtua, dan terutama peserta didik. Ada stigma yang berkembang di masyarakat bahwa keberhasilan peserta didik dan kualitas sekolah ditentukan oleh hasil UN yang notabene hanya dilaksanakan dalam beberapa hari dan pada beberapa mata pelajaran.
Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan agar nilai UN bagus. Peserta didik mengikuti bimbingan belajar. Untuk itu, ada biaya tambahan yang harus dialokasikan oleh orang tua. Guru memberikan latihan soal-soal UN. Sekolah mengadakan pembelajaran intensif, khusus mata pelajaran yang di-UN-kan. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan: nilai. Keberhasilan peserta didik memiliki akhlak terpuji, kemandirian, tanggung jawab, dan lain-lain yang dipupuknya selama tiga tahun hanya dipandang sebelah mata ketika melihat hasil UN-nya rendah.
Meskipun terlambat, Kemdikbud menyadari hal tersebut. UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang dilakukan di kelas 4, 8, dan 11. Hal itu dilakukan untuk mendorong pendidik dan satuan pendidikan memperbaiki kesalahan. Bukan nilai yang berupa angka-angka yang harus diutamakan, melainkan kompetensi holistik peserta didik.
Untuk tujuan tersebut, kemampuan literasi perlu ditingkatkan, baik yang berkaitan dengan membaca, matematika, maupun kinerja sains. Hasil laporan Program for International Student Assessment (PISA) pada 2018 yang baru saja dirilis pada Selasa, 3 Desember 2019 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar dari bawah di antara 79 negara yang disurvei.
Hal itu mendesak untuk segera dilakukan karena Indonesia akan memasuki masa bonus demografi. Pada 2030 s.d. 2040 jumlah penduduk usia produktif mencapai 64 persen. Bonus demografi adalah peluang sekaligus tantangan. Jika mampu menyiapkan SDM berkualitas, Indonesia akan menjadi negara besar. Sebaliknya, apabila gagal, akan menjadi bencana. Mewujudkan pendidikan yang berkualitas adalah salah satu upaya yang harus dilakukan.
RPP: Administrasi yang Melelahkan
Banyak tugas guru yang harus dikerjakan di luar jam mengajar. Guru harus menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus diketik secara detail. Tebal RPP bisa mencapai seratus halaman per semester per jenjang. Bayangkan jika mengajar di dua atau tiga jenjang. Ironisnya, RPP harus dicetak, bahkan dijilid sebagai bukti bahwa guru telah membuat RPP.
Kebijakan Kemdikbud memangkas RPP menjadi tiga komponen inti (tujuan, kegiatan, dan asesmen), sementara komponen lainnya bersifat pelengkap menjadi oase menyejukkan. Guru akan memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan pembelajaran agar lebih baik.
Format Baru PPDB Zonasi
Masih teringat dengan jelas saat banyak calon peserta didik menangis karena tidak mendapatkan sekolah yang diinginkan karena di daerah tempat tinggal mereka tidak terdapat sekolah negeri. Bahkan, calon peserta didik yang rumahnya hanya berjarak kurang dari 600 meter, terpaksa gagal mendapatkan sekolah negeri. Sebaliknya, minimal 80 persen calon peserta didik yang bertempat tinggal sangat dekat dari sekolah, tersenyum bahagia. Berapa pun nilai UN mereka, akan diterima.
Carut marut PPDB tahun pelajaran 2019/2020 menjadi pembelajaran yang berharga bagi Kemdikbud. Oleh sebab itu, PPDB yang akan datang menggunakan format baru meskipun tetap zonasi. Alangkah baiknya jika persentase zonasi ditentukan oleh daerah masing-masing karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Semoga “Merdeka Belajar” benar-benar mampu menjadi program yang memutuskan belenggu kemerdekaan pendidikan Indonesia. Sudah saatnya kita bangkit dari keterpurukan untuk mengejar ketertinggalan. Kita adalah bangsa besar yang memiliki semua potensi. Kita pasti bisa. (*)

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda!

Profil Sekolah Binaan

SMK NEGERI 1 KAMAL DAN SMK NEGERI 2 BANGKALAN