ASESMEN Kompetensi Minimum
dan Survei Karakter yang pelaksanaannya pada pertengahan jenjang, yakni kelas
4, 8, dan 11 akan diterapkan mulai 2021 sebagai pengganti ujian nasional (UN). Sebagian
besar pendidik mungkin kurang memahami maksud kedua hal tersebut.
Hal
itu dapat dimaklumi karena selama ini mereka hanya mengenal jenis asesmen untuk
mengukur konten, bukan konsep atas konten yang dipelajari. Akibatnya,
keberhasilan pembelajaran hanya ditentukan oleh angka-angka setelah sekian
banyak soal dikerjakan.
Bukankah
dalam Kurikulum 2013 terdapat pula asesmen untuk mengukur kompetensi spiritual
dan sosial, selain pengetahuan dan keterampilan? Bukankah dalam rapor juga
berisi aspek-aspek tersebut? Asesmen pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan
dengan mudah oleh pendidik. Bagaimana dengan asesmen aspek spiritual dan
sosial?
Pendidik
selalu kewalahan saat menilai kedua kompetensi tersebut karena banyak aspek di
dalamnya. Kompetensi spiritual berkaitan dengan mensyukuri nikmat, berdoa, bertoleransi
pada agama lain, dan beribadah. Sementara itu, kompetensi sosial berkaitan
dengan kejujuran, kedisiplinan, kesantunan, kepedulian, tanggung jawab, responsif,
pro-aktif, dan toleransi pada teman. Akibatnya, banyak waktu tersita untuk
melakukan berbagai penilaian tersebut. Ironisnya, pendidik sering tidak melakukannya.
Akibatnya, pemerintah tidak memiliki data perkembangan karakter peserta didik.
Berdasarkan
realita tersebut, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter perlu didukung.
Namun demikian, bagaimana langkah konkret pelaksanaannya? Tulisan berikut
mungkin dapat digunakan sebagai gambaran implementasinya.
Asesmen Kompetensi Minimum
Telah
dikemukakan Nadiem bahwa variabel penentuan kelulusan tidak lagi didasarkan pada
aspek kognitif beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan tanpa memperhatikan
karakter peserta didik, tetapi pada dua aspek kognitif, yakni literasi dan
numerasi. Dua aspek tersebut menjadi dasar untuk mempelajari materi apa pun.
Sayangnya, hasil laporan terakhir Program for International Student
Assessment (PISA) tentang kemampuan literasi dan numerasi, menempatkan Indonesia pada peringkat bawah.
Literasi tidak hanya bermakna membaca dan menulis, tetapi lebih
kepada kemampuan memahami konsep yang dibaca, kemudian menganalisisnya.
Sementara itu, numerasi berkaitan dengan pengaplikasian konsep bilangan untuk
memecahkan masalah praktis, kemudian menggunakan penalaran
untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
Literasi dan numerasi, dengan demikian, tidak hanya berkaitan
dengan pembelajaran bahasa dan matematika, tetapi juga pada semua mata
pelajaran, baik jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Untuk itu, strategi
literasi dan numerasilah yang tepat digunakan agar konsep yang dipelajari dapat
dipahami. Asesmen untuk mengukur kompetensi tersebut dapat berupa penugasan,
portofolio, atau penyusunan karya tulis, baik secara individu maupun kelompok.
Bagaimana mengimplementasikannya? Pada jenjang SMA Program
IPS kelas 11 pada materi “pengangguran”, misalnya, asesmen dapat dilakukan
dengan mengintegrasikan mata pelajaran wajib dan peminatan,
Langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Pendidik
membagi kelas dalam kelompok-kelompok heterogen. Selanjutnya, masing-masing
kelompok melakukan pengumpulan data tentang permasalahan pengangguran yang ada
di sekitar tempat tinggal peserta didik melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Peserta didik diwajibkan membaca referensi yang terkait agar pemahaman lebih
mendalam. Setelah itu, menganalisis data melalui penalaran untuk mengambil
keputusan dan membuat simpulan. Langkah terakhir, menyusun laporan dan mempresentasikannya.
Pendidik, dalam konteks tersebut, hanya berperan sebagai pembimbing dan
motivator.
Asesmen tersebut juga dapat diterapkan pada jenjang
pendidikan dasar jika strategi yang digunakan tepat. Dalam pembelajaran pada
tema “Selalu Berhemat Energi” di kelas 4, misalnya, peserta didik diminta
mengamati dan mendata penggunaan energi listrik di rumahnya. Setelah itu, membuat
laporan sederhana tentang upaya yang dilakukannya untuk menghemat energi.
Asesmen tersebut diintegrasikan dengan mata pelajaran lain, misalnya Matematika
dan Bahasa Indonesia.
Jika langkah-langkah tersebut dilakukan dengan benar, pemahaman
konsep materi akan dapat dikuasai peserta didik. Ranah pengetahuan (C1) dan
pemahaman (C2) terpenuhi karena peserta didik tidak akan dapat menyusun sebuah
laporan tanpa mengetahui dan memahaminya terlebih dahulu. Ranah aplikasi (C3)
juga akan dikuasai dengan baik karena peserta didik dituntut membuat
interpretasi atas hal yang dikaji. Begitu pula dengan ranah analisis (C4), evaluasi
(C5), dan kreasi (C6) akan terindikasikan dari laporan yang disusun.
Dengan demikian, asesmen kompetensi minimum dapat dilakukan pada
semua jenjang pendidikan dan semua mata pelajaran. Asesmen tidak dilakukan
sendiri-sendiri pada masing-masing mata pelajaran, tetapi terintegrasi dengan
mata pelajaran lain.
Survei Karakter
Sementara
itu, survei karakter perlu dilakukan dengan instrumen yang valid dan reliabel agar
benar-benar dapat digunakan untuk mengukur karakter peserta didik. Hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pembuatan instrumen tersebut adalah keberagaman
sosial, ekonomi, budaya, dan geografis peserta didik. Untuk itu, pemerintah pusat
harus bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam menyusun instrumen agar sesuai
dengan karakteristik tiap daerah.
Butir pertanyaan dalam survei sebaiknya
berisi tentang persatuan dan toleransi dalam kebhinekaan, pengamalan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan, dan semangat kebangsaan, Selain itu, perlu dilakukan
pula survei tentang ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, pemenuhan
harapan atas lingkungan belajar yang ramah anak, tanpa diskriminasi dan
perundungan.
Survei
sebaiknya tidak hanya sekadar serangkaian pertanyaan formalitas yang harus
diisi oleh peserta didik. Perlu diingat bahwa sebagian besar peserta didik
belum terbiasa mengisi lembar survei. Jika pernah, belum tentu diisi dengan
sungguh-sungguh. Akan lebih baik apabila mereka diberikan sosialisasi terlebih
dahulu tentang tujuan, teknik, dan manfaat hasil survei tersebut.
Pertangahan Jenjang
Pelaksanaan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter pada
pertengahan jenjang juga dirasa tepat. Hasil asesmen dan survei karakter tersebut
akan dipetakan dan dijadikan patokan bagi pemerintah mengambil kebijakan agar sekolah yang
tingkat literasi dan numerasinya masih rendah, segera berbenah dengan melakukan
perubahan, Harapannya adalah peserta didik bertumbuh menjadi pribadi yang
bahagia dengan nilai-nilai Pancasila yang semakin berakar dan dalam lingkungan belajar
yang menyenangkan. (*)
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!