Aku tak tahu apa yang sesungguhnya sedang aku cari saat itu. Perhatian?
Cinta? Atau bukan keduanya? Akan tetapi, sejak bertemu dengan Bee, begitu aku
biasa memanggil kekasihku, semua itu akhirnya kudapatkan. Tidak hanya perhatian
dan cinta, bahkan lebih dari itu. Namun, masa itu telah berlalu dan aku kembali
dalam sunyi; dalam belantara kesendirian. Apakah dendam ini harus terpuaskan?
Ingin rasanya aku lampiaskan semua kesal kepadanya, wanita yang tiga setengah
tahun ini mengisi hari-hariku, mengusir sepi, dan melengkapi sejarah
kehidupanku, lelaki yang telah sekian lama menyendiri di balik hingar bingar
metropolitan.
“Aku belajar di perpustakaan”, katanya suatu siang. “Aku lagi makan
bersama teman-teman,” katanya suatu petang. “Aku sedang mengerjakan tugas
kelompok”, katanya suatu malam.” Kata-kata itu masih kuingat dengan jelas
karena hampir selalu kudengar saat aku menelepon atau dari balasan chat-nya. Hingga suatu waktu, di malam
tahun baru lalu, janji bertemu tak juga berujung pada realita. Amarah pun
memuncak. Sumpah serapah dan caci maki tiada henti terlepas dari mulutku. Dia
terdiam sesaat, kemudian dengan nada pelan berkata, “Terserah kamu mau bilang
aku wanita macam apa. Terserah kalau mau marah. Terserah juga kalau ingin
mengakhiri hubungan. Mungkin itu akan lebih baik bagimu. Maaf!”
Kenangan itu, tak juga hilang dari sesalku. Seandainya mampu, tak pernah
sekali pun aku membencinya atau berkata kasar kepadanya. Sebaris pesan terakhir
kubaca; menyadarkanku atas semua khilaf. “Maafkan aku, Bee. Aku merindu Hadirmu.
Sakit yang kauderita, kini telah tiada. Selamat
jalan, Bee! Baik-baik di surga-Nya, ya?”
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!