Sebenarnya tidak ada keistimewaan khusus
mengenai keahlian Darko dalam memijat. Standar tukang pijat pada layaknya.
Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya pikat tersendiri. Kami
menemukan ketenangan di wajahnya yang membuat kami senantiasa merasa dekat.
Mungkin oleh sebab itu kami terus membicarakannya.
Entah darimana asalnya, tiada seorang warga
pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke kampung kami dengan pakaian tampak
lusuh. Kami sempat menganggap dia adalah pengemis yang diutus kitab suci. Dia
bertubuh jangkung tetapi terkesan membungkuk, barangkali karena usia. Peci
melingkar di kepala. Jenggot lebat mengitari wajah. Tanpa mengenakan kacamata,
membuat matanya yang hampa terlihat lebih suram, dia menawarkan pijatan dari rumah
ke rumah. Kami melihat mata yang bagai selalu ingin memejam, hanya selapis
putih yang terlihat.
Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya.
Maklum, tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya
kami saling pijat memijat dengan istri di rumah masing- masing, itu pun hanya
sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin
merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami yang
terkilir.
Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini
adalah buruh tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung
dengan ingatan. Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat
dibayangkan keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko
membuat kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah.
Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia
menyusur dari gang ke gang kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai
digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah
menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap meraba-raba udara
ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali penglihatan Darko
terletak di telapak tangannya.
Dia akan berhenti ketika seseorang
memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah
memandang suatu apa pun. Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak pernah
sekali pun dia mematok harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya dengan
mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan pijat
yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut tiap jengkal
tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang perlahan melepaskan kepenatan
bagai menemukan kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah
bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat.
Selain itu, Darko memiliki pembawaan sikap
yang ramah, tidak mengherankan bila orang- orang kampung segera merasa akrab
dengan dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya.
Meskipun begitu, kami tetap tidak tahu asal usulnya dengan jelas. Bila kami
menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung yang
jauh di kaki gunung.
Kemudian kami ketahui, bila malam hampir
tandas, Darko kembali ke tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara sawah-sawah
melintang. Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan keterasingan. Di sana
terdapat sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong, serta peralatan
penguburan lain yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan bila ada warga
meninggal. Di keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja. Dia selalu
mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak akan mengubah apa-apa. Sudah
berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan bagaimana aroma
mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam, menggenang di dadanya,
menyesakkan pernapasan.
REPORT THIS AD
Kami lantas menyarankan supaya menginap di
masjid saja. Namun dia tolak. Katanya kini masjid sedang berada di ujung
tanduk. Entahlah, dia lebih memilih tinggal di pemakaman, membersihkan kuburan
siapa saja.
Seminggu kemudian orang- orang kampung gusar.
Pak Lurah mengumumkan bahwa masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan
utama, akan segera dipindah ke permukiman berimpitan rumah-rumah warga dengan
alasan agar kami lebih dekat menjangkaunya. Supaya masjid senantiasa dipenuhi
jemaah.
Namun, berhamburan kabar Pak Lurah akan
mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah
proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada
di pelosok permukiman, harus melewati gang yang meliuk- liuk dan becek seperti
garis nasib kami.
Di saat seperti itu kami justru teringat
Darko. Ucapannya terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari
keterasingan yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah
mengetahui segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling memendam di
dalam hati masing- masing tentang dugaan bahwa Darko memiliki kejelian
menangkap hari lusa.
Namun diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit,
seorang warga kampung yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta Darko
meramalkan nasibnya. Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala berkali-kali
isyarat kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa
selain memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai memijat, Darko pun
menuruti permintaannya.
Dengan sikap yang tenang dia mulai mengusap
telapak tangan Kurit, menatapnya dengan mata terpejam, kemudian berkata;
Telapak tangan adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa maksudnya,
Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan takzim.
”Ada kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.”
Kurit serius menyimaknya masih dalam keadaan
berbaring.
”Tetap dirawat pertanianmu, rezeki akan terus
membuntuti,” tambahnya.
Kurit mengangguk, masih tanpa ucap.
Setelah merasa tak ada lagi sesuatu yang harus
dikerjakan, Darko permisi. Berjalan kembali menapaki malam yang lengang.
Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada tanah
menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan Darko,
berharap akan menjadi kenyataan.
***
Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di
celah gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara
yang semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang
melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti
sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka yang di alam kubur sana.
Dan bila ada warga meninggal, Darko kerap membantu para penggali kubur. Meski
sekadar mengambil air dari sumur, supaya tanah lebih mudah digali.
Begitulah, saat siang hari kami tak pernah
melihat Darko keliling kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi dalam
hening pemakaman. Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak
begitu penting sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah makam,
mengumpulkan dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu membakarnya.
Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak akan pernah berhenti menciumi bumi.
Dia begitu tangkas melakukan itu semua, seakan memang tak pernah ada masalah
dengan penglihatannya.
KamarMalas, Januari 2012
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!