Sunday, June 7, 2020

JEJAK CECAK


Kabar tentang musnahnya cecak menjadi viral di media sosial. Harga seekor cecak tak pernah terbayangkan siapa pun sebelumnya. Seratus ribu per ekor. “Gila! Fantastis!” kataku dalam hati sambil melihat-lihat dinding dan langit-langit kamar. Antara percaya dan tidak, kenyataannya memang demikian. Cecak yang biasanya selalu kulihat merayap di dinding dan langit-langit atau di pohon depan rumah kini tak tampak lagi. Raib begitu saja. Seakan-akan menghilang dari peradapan manusia. Dari balik jendela kamar aku  melihat sekelompok orang dengan senter di tangan. Kepala menengadah dengan mata jelalatan. “Dapat berapa, Kang? tanyaku. Hanya senyuman sebagai jawaban. Aku tahu apa yang mereka lakukan. Tak seekor cecak pun didapat. Aneh.

Isu itu dipicu oleh cerita yang bermula di Segalih, dusun kecil di lereng Merapi. Kini sudah menyebar ke seluruh negeri. Kira-kira sebulan lalu, Sarlan dan Tasrib baru pulang ke desa asalnya, Segalih. Sudah dua tahun mereka merantau di Jakarta bekerja sebagai kuli bangunan. Seminggu setelah tiba di desa, mereka demam dan batuk-batuk. Berbagai obat sudah diminum. Beberapa merek jamu sudah dicoba. Sakit yang mereka rasa belum juga reda. Bahkan semakin parah. Berita tentang dua orang yang diduga terpapar korona membuat geger seluruh warga Segalih. Tak ada yang berani datang menjenguk. Lewat di depan rumah mereka saja enggan. Hingga suatu senja, dua minggu lalu, mereka tetiba muncul di gardu ronda. Semua mata tak berkedip, terdiam memandang. Tak percaya atas hal yang dilihat. “Tenang saja, Kang! Jangan takut, Pakdhe! Kami sudah sembuh.” kata Sarlan sambil mengeluarkan seekor cecak dalam botol kecil dari saku. “Kami makan cecak sehari dua kali selama tiga hari.” kata Tasrib. Semua orang yang ada di pos ronda hanya melongo. Sejak kejadian itu, berita tentang dua orang Segalih yang sembuh dari korona karena makan cecak menjadi bahan pembicaraan. Para ibu yang berbelanja di pasar, pedagang, karyawan, sopir, nelayan, dan petani berbicara tentang isu itu. Viral. Sejak saat itu, semua orang berburu cecak. Anehnya, tak seorang pun berhasil mendapatkannya. Cecak tak tampak lagi jejaknya.

Matahari baru saja sembunyi di balik cakrawala setelah seharian menggantang terang. Sarlan sedang menunggui anaknya yang sedang mengerjakan tugas daring dari gurunya. Membuat pentigraf, cerpen tiga paragraf. “Sudah selesai, Nak?” tanya Sarlan kepada Sherly, putri tunggalnya yang duduk di kelas XI. “Sudah, Yah.” jawab Sherly sambil menyodorkan laptopnya. Sarlan membacanya sebentar. “Bagus! Ide cemerlang. Judul juga menarik. ‘Jejak Cecak’. Sesuai cita-citamu ingin kuliah di farmasi.” puji Sarlan. Ia mencium kening putri tunggalnya.

***SELESAI***

2 comments:

Berikan komentar Anda!

Profil Sekolah Binaan

SMK NEGERI 1 KAMAL DAN SMK NEGERI 2 BANGKALAN