Kabar tentang musnahnya cecak menjadi viral di media
sosial. Harga seekor cecak tak pernah terbayangkan siapa pun sebelumnya.
Seratus ribu per ekor. “Gila! Fantastis!” kataku dalam hati sambil melihat-lihat
dinding dan langit-langit kamar. Antara percaya dan tidak, kenyataannya memang
demikian. Cecak yang biasanya selalu kulihat merayap di dinding dan
langit-langit atau di pohon depan rumah kini tak tampak lagi. Raib begitu saja.
Seakan-akan menghilang dari peradapan manusia. Dari balik jendela kamar aku melihat sekelompok orang dengan senter di
tangan. Kepala menengadah dengan mata jelalatan. “Dapat berapa, Kang? tanyaku.
Hanya senyuman sebagai jawaban. Aku tahu apa yang mereka lakukan. Tak seekor cecak
pun didapat. Aneh.
Isu itu dipicu oleh cerita yang bermula di Segalih, dusun
kecil di lereng Merapi. Kini sudah menyebar ke seluruh negeri. Kira-kira sebulan
lalu, Sarlan dan Tasrib baru pulang ke desa asalnya, Segalih. Sudah dua tahun mereka
merantau di Jakarta bekerja sebagai kuli bangunan. Seminggu setelah tiba di
desa, mereka demam dan batuk-batuk. Berbagai obat sudah diminum. Beberapa merek
jamu sudah dicoba. Sakit yang mereka rasa belum juga reda. Bahkan semakin
parah. Berita tentang dua orang yang diduga terpapar korona membuat geger
seluruh warga Segalih. Tak ada yang berani datang menjenguk. Lewat di depan
rumah mereka saja enggan. Hingga suatu senja, dua minggu lalu, mereka tetiba
muncul di gardu ronda. Semua mata tak berkedip, terdiam memandang. Tak percaya
atas hal yang dilihat. “Tenang saja, Kang! Jangan takut, Pakdhe! Kami sudah
sembuh.” kata Sarlan sambil mengeluarkan seekor cecak dalam botol kecil dari saku.
“Kami makan cecak sehari dua kali selama tiga hari.” kata Tasrib. Semua orang
yang ada di pos ronda hanya melongo. Sejak kejadian itu, berita tentang dua
orang Segalih yang sembuh dari korona karena makan cecak menjadi bahan pembicaraan.
Para ibu yang berbelanja di pasar, pedagang, karyawan, sopir, nelayan, dan
petani berbicara tentang isu itu. Viral. Sejak saat itu, semua orang berburu
cecak. Anehnya, tak seorang pun berhasil mendapatkannya. Cecak tak tampak lagi jejaknya.
Matahari baru saja sembunyi di balik cakrawala setelah
seharian menggantang terang. Sarlan sedang menunggui anaknya yang sedang
mengerjakan tugas daring dari gurunya. Membuat pentigraf, cerpen tiga paragraf.
“Sudah selesai, Nak?” tanya Sarlan kepada Sherly, putri tunggalnya yang duduk
di kelas XI. “Sudah, Yah.” jawab Sherly sambil menyodorkan laptopnya. Sarlan
membacanya sebentar. “Bagus! Ide cemerlang. Judul juga menarik. ‘Jejak Cecak’. Sesuai
cita-citamu ingin kuliah di farmasi.” puji Sarlan. Ia mencium kening putri
tunggalnya.
***SELESAI***
Great ceritanya🙋
ReplyDeleteThx, Bro.....
DeleteMasih ada yang lain, tapi belum saya share.