Panggil saja namaku “Ayu”. Tapi jangan bayangkan wajahku se-ayu namaku.
Pun demikian dengan hari-hari yang kulewati, tak seindah seperti kebanyakan
orang menilaiku. Mereka hanya melihat dari kisi luar; sementara tidak pernah
mengerti apa yang sebenarnya sedang aku alami. Kesetiaan dan cinta menjadi
kebanggaan terbesarku sebagai seorang wanita. Oleh sebab itu, pinangan
laki-laki itu aku terima meski sejujurnya ada rasa resah yang selalu mengganggu
dalam setiap langkahku. Akan tetapi, cinta dan keyakinan ternyata mampu
mengalahkan kekhawatiran. Mulailah kehidupanku dengan hiruk-pikuk kehidupan di
sisi Barat Jawa.
Dan ternyata, apa yang aku risaukan berujung pada realita. Lelaki itu
telah pergi menyisakan luka yang teramat dalam. Kecewa? Tentu saja ada. Marah?
Buat apa aku lakukan itu, hanya sia-sia yang ada. Membencinya? Bisa saja aku
melakukannya. Tapi untuk apa? Toh, juga tidak mungkin bisa mengobati luka yang telah
digoreskan teramat dalam pada hidupku. Diam. Itu jawaban yang mungkin cukup
mampu sebagai tempat bersembunyi dari cerita lalu. Dan, senyum manis dari bibir
mungil telah bisa mengajariku akan arti sebuah kekuatan. Juga tangisnya di
malam-malamku, cukup memberikan makna akan keikhlasan itu. Entah sampai kapan
aku sanggup bertahan.
Medio September menyadarkanku bahwa masa lalu hanyalah sebuah cermin yang di dalamnya terlukis banyak cerita
tentang aku dan dia. “Episode yang harus aku tuntaskan”, kuyakinkan diri
sendiri agar segera bisa menepis luka. Sebuah puisi yang kubaca di halaman
pertama beranda facebook-ku membawaku
pada sebuah nama yang dulu pernah aku kenal, kalau tidak salah, namanya Sapta.
Lelaki dewasa yang tinggal di bagian Timur Jawa. Tak begitu dekat memang, hanya
samar-samar kuingat. Sejak itu, ada sesuatu yang berbeda. Apalagi setelah
sekian waktu saling bercerita tentang luka. “Ah, apakah cinta ini masih tersisa
meskipun hanya sepotong rasa? Apakah aku akan mampu menjalaninya? Sedang di antara
kami, ada cerita yang tak jauh berbeda.” Di saat aku sedang mencari jawaban
atas semua tanya itu, dering ponsel membuyarkan semuanya. Sebuah nama muncul di
layar: “Sapta”. Segera aku angkat, namun dering itu sudah tidak terdengar lagi.
Sebuah pesan pendek berbunyi beberapa detik kemudian: Maaf kalau aku mengganggu. Maaf juga kalau tidak sempat memberikan
kabar terlebih dahulu. Aku tunggu kau sekarang juga di beranda rumahmu. Aku
terdiam sesaat dalam keniscayaan. Apakah ini mimpi?
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!