Wednesday, October 16, 2019

SEPOTONG RINDU

Kutulis surat ini di bawah surya senja yang kilaunya mulai memudar dan cahayanya meredup keemasan. Aku bersandar pada pohon yang akarnya masih basah sisa hujan sore tadi. Pandang mataku menatap jauh pada sepasang kutilang yang terbang kembali pulang menuju sarang. Angan pun membayang pada paras cantik, senyum memesona, dan hangat peluknya. Kehangatan senyuman seorang ibu. Sedang apa kau sekarang, Bu? Apakah Ibu masih sering minum susu dan makan sepotong roti untuk mengawali hari, seperti dahulu selalu kaulakukan bersamaku? Apakah masih senang mendengar lagu tempo dulu? Kenangan-kenangan itu kembali menjelma.

Ibu tercinta, tetap tercinta, dan selalu kucinta. Di sini tempatnya indah sekali. Sepanjang hari aku bermain bersama teman-temanku. Ibu tahu permainan apa yang kusukai? Bermain pelangi setelah hujan siang hari. Aku juga suka bermain awan, Bu. Berkejar-kejaran di atasnya, melompat dari awan satu ke awan yang lain. Kalau ada sepotong awan kecil, kuambil dan kusimpan di saku baju lalu kubawa pulang untuk menemani tidur malamku.
Ingin sebenarnya aku sendiri yang mengantarkan surat ini kepadamu agar aku bisa merasai kembali hangat tubuhmu. Namun, jarak dan ruang tak memungkinkan aku melakukannya. Aku ada di atas mega-mega, sedangkan Ibu di belantara bumi menua yang dipenuhi keserakahan dan kemunafikan. Aku ada di antara bintang-bintang yang sinarnya berpendar keemasan, sementara engkau tinggal di puing-puing kepalsuan. Karena itulah, surat ini akan aku titipkan kepada angin atau kepada hujan.
Ibu tercinta. Sengaja kutulis surat ini dengan perlahan dan dalam kesendirian. Hanya ditemani kupu-kupu yang hinggap di pucuk asoka kembang. Sengaja pula kutulis surat ini dengan tinta yang warnanya tidak akan pudar agar rindu ini abadi hingga kita bertemu lagi suatu saat nanti.
Tanpa kusadari, setitik air mata membasah di ujung kertas. Air mata ini bukanlah air mata kesedihan atau penyesalan. Bukan pula air mata kekecewaan. Air mata ini adalah mata air kerinduan. Rinduku kepadamu. Sepotong kerinduan yang tetap tersimpan dalam sukma. Sepotong kerinduan yang akan tetap ada dan selalu ada di sini, pada dada ini. Maafkan aku, anakmu, yang tidak bisa menjagamu. Maafkan aku anakmu yang tidak mampu berbakti meskipun sebenarnya aku sangat menginginkannya. Dalam anganku, ada hasrat untuk menjadi anak yang pantas kaubanggakan. Menjadi anak yang  selalu ada di pelukmu. Akan tetapi, harapan ini telah lama dikebiri dan mati.
Ibuku tersayang dan selalu kusayang. Kadang di tengah kebahagiaanku terbang melintasi bintang-bintang, ada juga rasa perih jika mengingat semua peristiwa yang pernah kita alami dulu. Peristiwa yang tidak pernah aku mengerti dan tidak sanggup aku pahami hingga detik ini.
Saat itu, masih kuingat dengan pasti meskipun waktu telah sekian lama berlalu. Walau dalam gelap dan sunyi, aku merasakan betapa Ibu sangat mencintai dan menyayangiku. Sering sekali ibu mengajakku bercanda di saat aku terjaga. Sering pula Ibu mendongeng tentang kancil, buaya, atau keledai. Ibu juga sering bercerita tentang wanginya anyelir jingga dan indahnya malam di puncak purnama. Kadang sayup-sayup kudengar Ibu menyanyikan satu tembang lalu membelaiku di saat aku mulai terlelap. Tapi maaf, Bu! Aku sering tertidur meskipun tembang dan dongeng itu belum usai.
Ketika aku terbangun dari tidur yang entah berapa jam, aku lupa, badanku terasa segar. Aku bertambah senang dan tersenyum sendiri ketika kulihat jari-jari mungilku mulai bergerak-gerak dan ingin menyentuhmu. Bahkan aku sering tertawa ketika kaki-kaki kecilku menendang-nendang untuk mengajakmu bercanda. Kalau sudah seperti itu, biasanya Ibu tersenyum dan membelaiku. Rasa yang seperti itu kembali menari-nari di atas kepalaku dan menyusuri kembali setiap sudut belantara kehidupan kita dulu.
Hingga suatu senja di hari itu. Awal dari suatu peristiwa yang membawaku berada di tempat ini. Ketika aku terbangun dari tidur, samar-samar kudengar ibu sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Seseorang yang rasanya sudah tidak asing lagi bagiku. Seseorang yang rasanya begitu dekat denganku, tetapi aku tidak mengenalnya. Baru kali itu aku mendengar suaranya. Aku terdiam mencoba mendengar dari sudut gelapku.
Awalnya, pembicaraan itu biasa saja. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Akan tetapi, lama-lama semakin keras dan semakin meninggi. Aku mendengar suara benda terlempar dan jatuh berderak. Aku dengar pula suara pintu yang ditutup dengan kasarnya. Kemudian hening. Tidak ada suara ibu. Tidak ada juga suara orang asing itu. Tiba-tiba aku mendengar suara tangis. Itu suara tangisan ibu. Aku sangat mengenalnya. Mengapa kau menangis, Bu? Apakah orang yang baru saja datang itu yang tega membuat Ibu menangis? Apakah orang yang Ibu panggil dengan sebutan “Mas” itu telah menyakitimu? Seandainya mampu, aku akan membelamu dari orang-orang jahat yang membuat Ibu bersedih dan menangis. Tapi maaf, Bu. Tidak ada daya untuk itu. Tanganku begitu kecil dan kakiku terlalu rapuh, bahkan untuk sekadar menyangga tubuhku.
Hari berganti hari. Minggu demi minggu pun berlalu. Hingga aku mendengar kembali Ibu berbicara dengan seseorang. Ya, orang asing itu datang kembali. Orang yang telah membuat Ibu menangis. Aku terdiam berusaha mendengarkan percakapan mereka. Kupasang baik-baik telingaku dan kutempelkan di salah satu sudut ruang sunyi itu. Aku tidak memahami semua yang Ibu dan orang itu katakan. Hanya satu bagian percakapan yang masih aku ingat dengan baik, meskipun aku tidak tahu maksudnya.
“Kalau kamu masih menginginkan kita bersama, sekarang juga ikut aku! Aku tidak mau jika masa depanku hancur. Jika tak mau menuruti perkataanku, mau bagaimana lagi? Aku akan pergi. Jadi, suka atau tidak suka. Itu keputusanku. Sekarang terserah kamu. Ingat! Masa depan kita masih panjang. Apa kamu tidak merasa malu? Apa kata teman-temanmu nanti? Amarah apa yang akan kamu terima dari orang tuamu?”
Kembali, ibuku menangis. Suasana hening. Aku dengar, mereka melangkah keluar lalu ada deru mesin mengantar kepergian mereka. Ya, Ibu dan orang yang tidak aku kenal itu. Tiba-tiba, tanpa tahu sebabnya, aku merasakan takut yang luar biasa. Belum pernah perasaan seperti itu aku alami. Semoga Ibu baik-baik saja, harapku dalam hati. Aku pun tertidur kembali di peraduan yang nyaman dan terlindung meskipun sunyi dan selalu temaram.
Paginya, ketika aku terbangun dari tidur, sesuatu yang ganjil terjadi. Jika hari-hari sebelumnya, begitu bangun tidur, badanku terasa segar, pagi itu berbeda. Badanku panas dan lemas. Kedatangan orang asing ke rumah Ibu beberapa kali telah membuat pikiranku tidak tenang. Di saat aku sedang merenung sambil menahan panas di tubuhku, aku dengar ibu bercakap-cakap kembali dengan orang itu.
Kamu tidak usah takut! Perempuan tua yang akan kita datangi itu sudah berpengalaman. Sudah banyak orang yang minta pertolongannya. Perempuan tua itu Mbok Barsi namanya. Jadi, ikuti saja perintahnya! Jika kamu nurut, semua akan baik-baik saja!”
Mereka pun pergi beberapa saat kemudian. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut ibu. Hanya sesekali terdengar tangisnya.
Hening di sekelilingku. Hanya hawa panas yang kurasakan. Aku tidak tahu di mana aku berada. Yang jelas, bukan di rumahku. Sayup kudengar suara seorang perempuan yang tampaknya baru keluar dari kamar. Mungkin perempuan ini yang bernama Mbok Barsi. Perempuan tua itu segera meminta ibu masuk ke kamar. Entah apa yang akan dilakukannya kepada ibu.
Tiba-tiba, dunia menjadi gelap dan semakin gelap. Langit seakan-akan runtuh. Meremas dan melumat tulang-tulang rapuh ini. Mencengkeram iga-igaku. Dalam sakit yang tak tertahankan aku masih sempat berteriak.
Ibu, mengapa kauturuti perkataan lelaki itu? Mengapa Ibu lebih memilihnya daripada aku, darah dagingmu? Mengapa kau tega melakukan semua ini? Apa salahku, Bu? Apakah aku pernah menyakitimu? Apakah selama ini aku nakal? Mengapa Ibu tidak menginginkan kehadiranku dalam hidupmu meski hanya sekejap? Dahulu, di awal-awal keberadaanku, Ibu sangat mempedulikanku. Ibu mengajakku bercanda dan bercerita tentang indahnya kehidupan. Mengapa sekarang seperti ini? Bu, aku ingin menikmati sejuknya embun pagi dan aroma bunga-bunga yang pernah kaujanjikan. Kalau aku salah, maafkan aku, Aku berjanji untuk tidak membuat Ibu bersedih. Aku berjanji tidak nakal lagi. Aku berjanji untuk selalu berbakti. Aku berjanji…. Ah, sakit, Bu! Sakit sekali!”
Di tengah rasa sakit yang mendera tubuh dan meremukkan seluruh tulangku, masih sempat kulihat sebuah tangan tua menjulur ke arahku.Tangan monster yang datang dari kegelapan itu semakin mendekat dan mulai mencabuti satu per satu tubuhku. Aku tidak mampu berlari karena dinding semakin gelap dan tertutup rapat. Aku pun terdiam.
Ibu tercinta, tetap tercinta, dan selalu kucinta. Jujur kukatakan bahwa aku tidak pernah membencimu. Bahkan aku bersyukur memiliki ibu yang cantik seperti dirimu. Bersyukur telah kauizinkan tinggal di rahimmu untuk sesaat meskipun dari benih laki-laki yang tak akan pernah kurindui. Aku mencintaimu meskipun tak pernah bisa merasakan hangat buaianmu.
Kupandangi kembali surat ini. Sekarang aku telah berbahagia di rumah Tuhan yang dulu selalu kausebut nama-Nya dalam setiap sujudmu. Tuhan itu Mahabaik, seperti kata-katamu dulu kepadaku. Ibu tidak perlu khawatir. Aku, anakmu, kini menjadi anak-Nya di kerajaan surga. Ibu baik-baik, ya? Mohonlah ampun selagi masa masih tersisa.
Sebelum aku pergi, ada satu puisi yang kutulis semalam selepas Isya. Dengarkan ya, Bu? Judulnya “Sepotong Rindu”.
Rasa ini tak berkesudahan
Seperti rindu Hawa kepada Adam
Cinta ini tak hendak berakhir
Laksana air mengalir
Sayang ini tak pernah pudar
Melintasi bintang yang kilaunya berpendar

Akulah yang akan menuliskan satu puisi
Tentang hakikinya nurani
Pada angsana bersemi
Aku pula yang akan mencipta satu tembang
Tentang angan dan impian
Pada kuncup asoka kembang

Sepotong rindu ini
Akan tersimpan dalam hati
... menjadi prasasti

Salam sayang,

Anak yang merindumu


No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda!

Profil Sekolah Binaan

SMK NEGERI 1 KAMAL DAN SMK NEGERI 2 BANGKALAN