Kutulis surat ini di bawah surya senja yang kilaunya mulai
memudar dan cahayanya meredup
keemasan. Aku bersandar pada
pohon yang akarnya
masih basah sisa hujan sore tadi. Pandang mataku menatap jauh pada sepasang kutilang
yang terbang kembali pulang menuju sarang. Angan
pun membayang pada paras
cantik, senyum memesona, dan hangat peluknya. Kehangatan senyuman seorang ibu. Sedang
apa kau sekarang, Bu? Apakah Ibu masih sering minum susu dan makan sepotong
roti untuk mengawali hari, seperti dahulu selalu kaulakukan bersamaku? Apakah
masih senang mendengar lagu tempo dulu? Kenangan-kenangan
itu kembali menjelma.
Ibu
tercinta, tetap tercinta, dan selalu kucinta. Di sini
tempatnya indah sekali. Sepanjang hari aku
bermain bersama teman-temanku. Ibu
tahu permainan apa yang kusukai? Bermain pelangi setelah
hujan siang hari. Aku juga suka bermain awan, Bu. Berkejar-kejaran di atasnya, melompat dari awan
satu ke awan yang lain. Kalau
ada sepotong awan kecil,
kuambil dan
kusimpan di saku baju lalu
kubawa pulang untuk menemani tidur malamku.
Ingin
sebenarnya aku sendiri yang mengantarkan surat ini kepadamu agar aku bisa merasai
kembali hangat tubuhmu. Namun, jarak
dan ruang tak memungkinkan aku melakukannya.
Aku ada di atas mega-mega, sedangkan Ibu di belantara
bumi menua yang dipenuhi keserakahan dan kemunafikan. Aku ada di antara
bintang-bintang yang sinarnya berpendar keemasan, sementara engkau tinggal di
puing-puing kepalsuan.
Karena itulah, surat ini akan aku
titipkan kepada angin atau kepada hujan.
Ibu tercinta. Sengaja kutulis
surat ini dengan perlahan dan dalam kesendirian. Hanya ditemani kupu-kupu yang
hinggap di pucuk asoka kembang. Sengaja pula kutulis surat ini dengan tinta yang
warnanya tidak akan pudar agar rindu ini
abadi
hingga kita bertemu lagi suatu saat nanti.
Tanpa
kusadari, setitik air mata membasah di ujung kertas. Air mata ini bukanlah air
mata kesedihan atau penyesalan. Bukan pula air mata kekecewaan. Air mata ini
adalah mata air kerinduan. Rinduku
kepadamu. Sepotong kerinduan yang tetap tersimpan dalam sukma. Sepotong kerinduan
yang akan tetap ada dan selalu ada di sini, pada dada ini. Maafkan aku, anakmu,
yang tidak bisa menjagamu. Maafkan aku anakmu yang tidak mampu berbakti
meskipun sebenarnya aku sangat menginginkannya. Dalam anganku, ada hasrat untuk
menjadi anak yang pantas kaubanggakan. Menjadi anak yang selalu ada di pelukmu. Akan tetapi, harapan ini telah lama dikebiri
dan mati.
Ibuku
tersayang dan selalu kusayang. Kadang di tengah kebahagiaanku terbang melintasi bintang-bintang, ada
juga rasa perih jika mengingat semua peristiwa yang pernah kita alami dulu. Peristiwa
yang tidak pernah aku mengerti dan tidak sanggup aku pahami hingga detik ini.
Saat itu, masih kuingat
dengan pasti meskipun waktu telah sekian lama berlalu. Walau
dalam gelap dan sunyi, aku merasakan betapa Ibu sangat mencintai dan menyayangiku.
Sering sekali ibu mengajakku bercanda di saat aku terjaga. Sering pula Ibu
mendongeng tentang kancil, buaya, atau keledai. Ibu juga sering bercerita
tentang wanginya anyelir jingga dan indahnya malam di puncak purnama. Kadang
sayup-sayup kudengar Ibu menyanyikan satu tembang lalu membelaiku di saat aku
mulai terlelap. Tapi maaf, Bu! Aku sering tertidur meskipun tembang dan dongeng itu belum usai.
Ketika
aku terbangun dari tidur yang entah berapa jam, aku lupa, badanku terasa segar.
Aku bertambah senang dan tersenyum sendiri ketika kulihat jari-jari mungilku mulai
bergerak-gerak dan ingin menyentuhmu. Bahkan aku sering tertawa ketika
kaki-kaki kecilku menendang-nendang untuk mengajakmu bercanda. Kalau sudah
seperti itu, biasanya Ibu tersenyum dan membelaiku. Rasa yang seperti itu
kembali menari-nari di atas kepalaku dan menyusuri kembali setiap sudut belantara
kehidupan kita dulu.
Hingga
suatu senja di hari itu. Awal dari suatu peristiwa yang membawaku berada di
tempat ini. Ketika aku terbangun dari tidur, samar-samar kudengar ibu sedang
bercakap-cakap dengan seseorang. Seseorang yang rasanya sudah tidak asing lagi
bagiku. Seseorang yang rasanya begitu dekat denganku, tetapi aku tidak
mengenalnya. Baru kali itu aku mendengar suaranya. Aku terdiam mencoba
mendengar dari sudut gelapku.
Awalnya,
pembicaraan itu biasa saja. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Akan tetapi,
lama-lama semakin keras dan semakin meninggi. Aku mendengar suara benda
terlempar dan jatuh berderak. Aku dengar pula suara pintu yang ditutup dengan kasarnya.
Kemudian hening. Tidak ada suara ibu. Tidak ada juga suara orang asing itu.
Tiba-tiba aku mendengar suara tangis. Itu
suara tangisan ibu. Aku sangat mengenalnya. Mengapa kau menangis, Bu? Apakah
orang yang baru saja datang itu yang tega membuat Ibu menangis? Apakah orang
yang Ibu panggil dengan sebutan “Mas” itu telah menyakitimu? Seandainya mampu,
aku akan membelamu dari orang-orang jahat yang membuat Ibu bersedih dan
menangis. Tapi maaf, Bu. Tidak ada daya
untuk itu. Tanganku begitu kecil dan kakiku terlalu rapuh, bahkan untuk
sekadar menyangga tubuhku.
Hari
berganti hari. Minggu demi minggu pun berlalu. Hingga aku mendengar kembali Ibu
berbicara dengan seseorang. Ya, orang asing itu datang kembali. Orang yang
telah membuat Ibu menangis. Aku terdiam berusaha mendengarkan percakapan
mereka. Kupasang baik-baik telingaku dan kutempelkan di salah satu sudut ruang sunyi
itu. Aku tidak memahami semua yang Ibu dan orang itu katakan. Hanya satu bagian
percakapan yang masih aku ingat dengan baik, meskipun aku tidak tahu maksudnya.
“Kalau kamu masih
menginginkan kita bersama, sekarang juga ikut aku! Aku tidak mau jika
masa depanku hancur. Jika tak mau menuruti perkataanku, mau bagaimana lagi? Aku
akan pergi. Jadi, suka atau tidak suka. Itu keputusanku. Sekarang terserah kamu.
Ingat! Masa depan kita masih panjang. Apa kamu tidak merasa malu? Apa kata
teman-temanmu nanti? Amarah apa yang akan kamu terima dari orang tuamu?”
Kembali,
ibuku menangis. Suasana hening. Aku dengar, mereka melangkah keluar lalu ada deru mesin
mengantar kepergian mereka. Ya, Ibu dan orang yang tidak aku kenal itu.
Tiba-tiba, tanpa tahu sebabnya, aku merasakan
takut yang luar biasa. Belum pernah
perasaan seperti itu aku alami. Semoga
Ibu baik-baik saja, harapku dalam hati. Aku pun tertidur kembali di peraduan
yang nyaman dan
terlindung meskipun sunyi dan selalu temaram.
Paginya, ketika aku
terbangun dari tidur, sesuatu
yang ganjil terjadi.
Jika hari-hari sebelumnya, begitu bangun tidur, badanku terasa segar, pagi itu berbeda. Badanku panas dan lemas. Kedatangan orang
asing ke rumah Ibu
beberapa kali telah membuat pikiranku tidak tenang. Di saat aku sedang merenung
sambil menahan panas di tubuhku, aku dengar ibu
bercakap-cakap kembali dengan orang itu.
“Kamu tidak usah takut! Perempuan tua yang
akan kita datangi itu sudah berpengalaman. Sudah banyak orang yang minta
pertolongannya.
Perempuan tua itu Mbok Barsi namanya. Jadi, ikuti
saja perintahnya!
Jika kamu nurut, semua akan baik-baik saja!”
Mereka
pun pergi beberapa saat kemudian. Tidak
ada satu kata pun keluar dari mulut ibu.
Hanya sesekali terdengar tangisnya.
Hening
di sekelilingku. Hanya hawa panas yang kurasakan. Aku tidak tahu di mana aku
berada. Yang jelas, bukan di rumahku. Sayup
kudengar suara seorang perempuan yang tampaknya
baru keluar dari kamar. Mungkin perempuan ini yang bernama Mbok Barsi.
Perempuan tua itu segera meminta ibu masuk ke kamar. Entah apa yang akan
dilakukannya kepada ibu.
Tiba-tiba,
dunia menjadi gelap dan semakin gelap. Langit seakan-akan runtuh. Meremas dan melumat
tulang-tulang rapuh ini. Mencengkeram iga-igaku. Dalam sakit yang tak
tertahankan aku masih sempat berteriak.
“Ibu, mengapa kauturuti
perkataan lelaki itu? Mengapa Ibu lebih memilihnya daripada aku, darah dagingmu?
Mengapa kau tega melakukan semua ini? Apa salahku, Bu? Apakah aku pernah
menyakitimu? Apakah selama ini aku nakal? Mengapa
Ibu tidak menginginkan
kehadiranku dalam hidupmu meski hanya sekejap? Dahulu, di
awal-awal keberadaanku, Ibu
sangat mempedulikanku.
Ibu mengajakku bercanda dan
bercerita tentang indahnya kehidupan. Mengapa sekarang seperti ini? Bu, aku ingin menikmati
sejuknya embun pagi dan aroma bunga-bunga yang pernah kaujanjikan. Kalau aku
salah, maafkan aku, Aku berjanji
untuk tidak membuat Ibu bersedih.
Aku berjanji tidak nakal lagi. Aku berjanji untuk selalu berbakti. Aku berjanji…. Ah, sakit, Bu! Sakit sekali!”
Di
tengah rasa sakit yang mendera tubuh dan meremukkan seluruh tulangku, masih sempat kulihat sebuah tangan tua
menjulur ke arahku.Tangan monster yang datang dari kegelapan itu semakin
mendekat dan mulai mencabuti satu per satu tubuhku. Aku tidak mampu berlari
karena dinding semakin gelap dan tertutup rapat. Aku
pun terdiam.
Ibu tercinta, tetap
tercinta, dan selalu kucinta.
Jujur kukatakan bahwa aku
tidak pernah membencimu. Bahkan
aku bersyukur memiliki ibu yang cantik seperti dirimu. Bersyukur telah kauizinkan
tinggal di rahimmu untuk
sesaat meskipun dari benih laki-laki yang tak akan pernah kurindui. Aku
mencintaimu meskipun tak pernah bisa merasakan hangat buaianmu.
Kupandangi kembali surat ini. Sekarang aku telah
berbahagia di
rumah Tuhan yang dulu selalu kausebut nama-Nya dalam setiap sujudmu. Tuhan itu Mahabaik, seperti
kata-katamu dulu kepadaku. Ibu tidak perlu khawatir.
Aku, anakmu, kini
menjadi anak-Nya di kerajaan surga. Ibu baik-baik, ya? Mohonlah ampun selagi masa masih tersisa.
Sebelum
aku pergi, ada satu
puisi yang kutulis semalam selepas Isya. Dengarkan ya, Bu? Judulnya “Sepotong
Rindu”.
Rasa ini tak
berkesudahan
Seperti rindu Hawa kepada Adam
Cinta ini tak
hendak berakhir
Laksana air mengalir
Sayang ini tak
pernah pudar
Melintasi bintang yang kilaunya berpendar
Akulah yang akan menuliskan satu puisi
Tentang hakikinya nurani
Pada angsana bersemi
Aku pula yang akan mencipta satu tembang
Tentang angan dan impian
Pada kuncup asoka kembang
Sepotong rindu ini
Akan tersimpan dalam hati
... menjadi prasasti
Salam
sayang,
Anak
yang merindumu
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!