Dalam keremangan malam, pikirannya melayang pada masa tiga puluh tahun
silam. Saat keriput belum menggurat wajahnya; garis-garis retak belum memahat
pada kedua tangannya; langkahnya pun masih tegap, setegak hasrat dan
cita-citanya.
Tidak tahu apa sebabnya, tiba-tiba aku ingat akan Pak Sarno, guruku
semasa SMA. Ada satu wejangan yang aku
ingat sampai sekarang. “Bapak tidak bisa membuat kalian pintar, Nak. Tapi,
Bapak bisa membuat kalian mengerti akan makna hidup ini. Jadilah anak-anak yang
mampu menjalani kehidupan dengan baik. Satu-satunya cara adalah menjadikan diri
kalian berguna bagi orang lain”. Ya, aku adalah murid yang paling nakal di
sekolah. Hukuman berdiri dengan satu kaki di sudut kelas, atau mengerjakan tugas
seabreg dari buku sudah menjadi menu sehari-hari. Namun, takdir membawaku
menjadi seorang guru pula. Setelah mengetahui alamat terakhir beliau, kuputuskan
untuk mengunjunginya.
Senja telah menggantikan siang. Mentari pun telah menuju ufuk untuk menjemput
malam. Tubuh merapuh itu tergolek lunglai di sisi ranjang tua, berdebu. Ada
setumpuk buku usang di samping pembaringan; sementara di dinding yang catnya
telah lama memudar, terpajang sebuah piagam berbingkai kayu, satu-satunya
hiasan yang ada di kamar itu. Ya, piagam penghargaan sebagai seorang guru yang
telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya...dulu. Ah, beberapa ekor belatung, keluar
dari sela-sela pintu kamar sebagai satu noktah terakhir senja sang guru. Pak
Sarno, senjamu sembunyi dalam sepi.
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!