Sunday, September 22, 2019

DEMORALITAS BERBAHASA DI MEDIA SOSIAL: PERAN GURU BAHASA INDONESIA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN PEMBELAJARAN DI ERA 4.0


Pendahuluan
Demoralitas berbahasa menjadi salah satu dampak negatif dimulainya revolusi industri 4.0. Hal itu disebabkan oleh dilibatkannya sistem siber fisik di segala aspek kehidupan, termasuk dalam komunikasi antarmanusia yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Media-media sosial yang berkembang pesat pada era 4.0, seperti facebook, twitter, instagram, line, dan whatsaap semakin meramaikan disruptif berbahasa Indonesia yang pada akhirnya menciptakan demoralitas (ketidaksantunan) berbahasa.


Maraknya penggunaan kata, seperti “dungu”, “tolol”, “anjing”, “kaum kampret”, “kaum kecebong”, dan “mulut sampah” di media sosial akhir-akhir ini merupakan contoh konkret bahwa bahasa digunakan sebagai media untuk mencibir, memaki, menghina, dan mengumpat lawan bicara. Kata-kata yang demikian tentu saja akan mencederai hakikat komunikasi sebagai suatu kegiatan pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksudkan oleh penutur (orang yang berbicara) dapat dipahami petutur (orang yang diajak berbicara). Untuk itu, moralitas berbahasa dalam suatu aktivitas komunikasi selayaknya tetap diperhatikan agar senantiasa terjalin hubungan yang harmonis di antara peserta komunikasi (komunikan). Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa komunikasi bukan meripakan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan memiliki fungsi dan tujuan tertentu, serta dapat menimbulkan pengaruh pada petutur. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Tarigan (1986:50) bahwa komunikasi memiliki fungsi yang bersifat purposif, mengandung tujuan tertentu, dan menghasilkan efek, pengaruh, dan akibat pada  penutur dan petutur.
Berkaitan dengan hal tersebut, guru, sebagai ujung tombak pendidikan yang berkualitas, memiliki peran penting dalam menjaga moralitas berbahasa Indonesia para peserta didik. Guru, dengan demikian, harus senantiasa memberikan arahan dan menjadikan dirinya sebagai teladan bagi peserta didik tentang hakikat berbahasa dalam komunikasi antarpersonal. Untuk itu, dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, guru harus memiliki strategi atau model pembelajaran yang tepat, yakni dengan mengaitkan materi pembelajaran dengan realitas era 4.0.

Hakikat Bahasa
Bahasa menurut Keraf (1980:32) berfungsi sebagai alat untuk menyatakan ekspresi, komunikasi, integrasi-adaptasi sosial, dan kontrol sosial. Berdasarkan keempat fungsi tersebut, bahasa berperan penting dalam kehidupan manusia karena bahasa adalah media dalam kegiatan berinteraksi. Sejalan sengan pendapat tersebut, Sumarsono (2007:18) menyatakan bahwa  bahasa adalah produk sosial atau produk budaya sehingga bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, Nababan (1994:38) membagi fungsi bahasa menjadi empat, yaitu (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Keempat macam fungsi tersebut saling berkaitan.

Media Sosial
Ada banyak pengertian tentang media sosial (https://www.maxmanroe.com), di antaranya dikemukakan oleh beberapa ahli berikut. Brogan menyatakan bahwa media sosial adalah seperangkat alat komunikasi dan kolaborasi baru yang memungkinkan terjadinya berbagai interaksi yang sebelumnya tidak tersedia bagi orang awam. Sejalan dengan Brogan, Terry menyatakan bahwa media sosial adalah suatu media komunikasi agar pengguna dapat mengisi kontennya secara bersama yang menggunakan teknologi berbasis internet. Cross juga menyatakan hal yang sama bahwa media sosial adalah sebuah istilah yang menggambarkan bermacam-macam teknologi yang digunakan untuk mengikat orang-orang ke dalam suatu kolaborasi, saling bertukar informasi, dan berinteraksi melalui isi pesan yang berbasis web.
Sementara itu, karakteristik media sosial (https://www.maxmanroe.com) di antaranya adalah sebagai berikut.
(1)    Adanya partisipasi yang mendorong penggunanya untuk memberikan umpan balik atas suatu pesan atau konten yang terdapat di media sosial yang dapat diterima atau dibaca oleh banyak orang.
(2)    Adanya keterbukaan karena diberi kesempatan bagi para pengguna untuk berkomentar, berbagi, dan lain-lain yang dapat dilakukan dengan.
(3)    Adanya perbincangan atas suatu konten, baik dalam bentuk reaksi maupun percakapan di antara para pengguna. Sementara itu, penerima pesan bebas menentukan kapan melakukan interaksi terhadap konten tersebut.
(4)    Adanya keterhubungan dengan pengguna lainnya melalui fasilitas tautan dan sumber informasi lainnya. Proses pengiriman pesan melalui media sosial akan lebih cepat jika dibandingkan dengan media lainnya.

Moralitas Berbahasa Indonesia
Moralitas berbahasa berkaitan dengan kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa selayaknya mendapatkan perhatian, baik oleh para linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap pengguna bahasa untuk memahami moralitas berbahasa karena kodrat manusia adalah makhluk berbahasa. Moralitas berbahasa tampak dari tata cara komunikan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan melalui lambang-lambang verbal. Hal itu sejalan dengan pernyataan Yule (2006:104) bahwa kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain. Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (Yule, 2006:106).
Berkaitan dengan hal tersebut, sudah sewajarnya jika pengguna bahasa menerapkan norma-norma sosial, budaya, dan etika dalam setiap peristiwa komunikasi. Norma-norma tersebut akan menciptakan moralitas berbahasa. Untuk menciptakan hal tersebut, ada empat prinsip menurut Leech (1993: 123-125) yang harus diperhatikan, yakni prinsip kesopanan, penghindaran pemakaian kata tabu, penggunaan eufemisme, dan penggunaan pilihan kata honorifik. Hal-hal tersebut secara singkat dipaparkan bagian berikut ini.
Pertama, dalam dalam suatu komunikasi perlu digunakan prinsip kesopanan, yang terdiri atas enam maksim, yaitu tact maxim (mengutamakan kearifan bahasa), approbation maxim (mengutamakan keuntungan untuk orang lain), generosity maxim (maksim yang mengutamakan rasa hormat pada orang lain), modesty maxim (maksim yang mengutamakan pujian pada orang lain), agreement maxim (maksim yang mengutamakan kecocokan pada orang lain), sympath maxim (mengutamakan rasa simpati pada orang lain). Dengan menerapkan maksim-maksim tersebut, komunikan tidak lagi menggunakan kata-kata kasar atau ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu. Kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, benda yang menjijikkan, dan kata-kata sarkastis tidak lazim digunakan dalam berkomunikas. Ketiga,  penggunaan eufemisme dalam tuturan perlu dilakukan untuk menghindari kesan negatif terhadap hal yang dituturkan. Namun demikian, eufemisme harus digunakan secara wajar dan tidak berlebihan. Keempat, penggunaan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat penutur saat berbicara atau menyapa petutur.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan utama kesantunan berbahasa adalah menjaga etika berkomunikasi. Oleh sebab itu, norma sosial, budaya, dan etika dalam berbahasa perlu diperhatikan karena berkomunikasi tidak hanya sekadar penyampaian ide, tetapi juga pelibatan ketiga norma tersebut.  Untuk itu, tata cara berbahasa harus selaras dengan norma-norma tersebut. Apabila tidak, akan dianggap sebagai hal yang negatif oleh masyarakat, misalnya dituduh sebagai orang yang angkuh, sombong, egois, tidak beradat, tidak beretika, tidak berpendidikan, atau tidak berbudaya. Tata cara berbahasa yang mengikuti norma-norma tersebut merupakan sebuah indikator tumbuhnya moralitas berbahasa. Sebaliknya, jika hal itu diabaikan, akan timbul demoralitas berbahasa.

Demoralitas Berbahasa Indonesia di Media Sosial
Maraknya aplikasi media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, line, dan whatsapp adalah bukti konkret perkembangan zaman di era 4.0. Era revolusi industri tersebut tidak hanya sekadar otomatisasi dan komputerisasi, tetapi juga komunikasi antarmanusia yang menggunakan bahasa sebagai alat penyampaian pesan. Media sosial semakin meramaikan era disruptif bahasa ini.
Bahasa sebagai sarana yang digunakan dalam percakapan di media sosial telah mampu menggugah perasaan kita tentang makna moralitas berbahasa. Moralitas berbahasa berkaitan dengan cara penggunaan bahasa, sikap berbahasa, dan estetika berbahasa seseorang karena moralitas berbahasa menjadi sangat penting dalam pranata sosio-kultural masyarakat (Efendi dalam https://koranindonesia.id/).
Percakapan para pengguna media sosial, disadari atau tidak, cenderung menggunakan pilihan kata bermakna kasar. Dampak negatifnya adalah “perang kata-kata kasar” sering terjadi dalam komunikasi di antara mereka. Jika hal itu dibiarkan, lambat laun akan merusak persatuan di tengah keberagaman masyarakat dan melunturkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.
Kecenderungan menggunakan gaya bahasa sarkasme semakin parah saat berlangsungnya pesta demokrasi pemilihan presiden yang perhelatannya baru saja selesai. Para pendukung kandidat calon presiden saling melontarkan kata-kata yang bermakna negatif terhadap lawan calon presiden lainnya. Beberapa contoh kata yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan menjadi bukti nyata bahwa pengguna bahasa sering tidak mempedulikan moralitas berbahasa ketika berkomunikasi. Para pengguna media sosial tersebut, yang kemungkinan tidak saling mengenal di dunia nyata, semakin menyuburkan keberanian untuk berkata-kata yang bernada sarkastis. Karena tidak saling mengenal itulah, mereka beranggapan bahwa penggunaan kata-kata kasar bukan sebagai suatu kesalahan, bahkan dianggap sebagai hal yang wajar.
Hal yang demikian tentu dapat merusak kebanggaan kita sebagai warga bangsa karena bahasa Indonesia lahir dari semangat persatuan di tengah keberagaman etnis dan sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai sosial, budaya, dan etika. Kesopansantunan dalam berbahasa Indonesia adalah warisan budaya yang adiluhung dan tidak ternilai. Oleh sebab itu, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antarmasyarakat serta media penyampai pesan, perasaan, dan pikiran manusia perlu dipertahankan dan dikembangkan. Jika hal tersebut tidak diantisipasi secara saksama, bukan tidak mungkin sisi negatif yang akan muncul dan berkembang sebagai pemicu konflik dan kesalahpahaman, seperti yang sering terjadi di media sosial dewasa ini. Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut, pengguna bahasa harus memahami etika berbahasa (linguistic etiquete). Hal itu sejalan dengan pernyataan Nababan (1994:53) bahwa bahasa seseorang akan mengikuti norma kebudayaan induknya.

Peran Guru Bahasa Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Demoralitas Berbahasa di Media Sosial
Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tanggung jawab moral yang luar biasa atas demoralitas berbahasa Indonesia yang ditandai dengan semakin maraknya penggunaan kata-kata sarkastis di media sosial. Oleh sebab itu, perlu segera dicarikan solusinya agar tidak semakin meluas karena jika dibiarkan, hal tersebut bisa menjadi “budaya negatif” yang berujung pada perpecahan di antara sesama anak bangsa.
Berkaitan dengan hal tersebut, guru Bahasa Indonesia harus mampu mempersiapkan peserta didiknya melalui berbagai kegiatan, misalnya dengan  membangun kemampuan dan kebiasaan peserta didik untuk berpikir kritis. Dalam tulisan ini, dihadirkan beberapa materi pembelajaran bahasa Indonesia untuk SMA yang bertolak dari realitas era 4.0. Beberapa materi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
No
Kelas
Semester
Materi
1
X
Gasal
Teks Laporan Hasil Observasi
2
Genap
Teks Debat
3
XI
Gasal
Teks Eksplanasi
4
Genap
Teks Karya Ilmiah
5
XII
Gasal
Teks Editorial
6
Genap
Teks Kritik dan Esai
Untuk mengajarkan materi-materi tersebut, ada beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan guru. Model pembelajaran kooperatif discovery learning, problem based learning, think pair share, inquiry, atau model yang lain dapat diterapkan untuk tujuan tersebut.
Berikut disajikan gambaran umum pelaksanaan pembelajaran pada materi Menulis Teks Laporan Hasil Observasi dengan menggunakan Discovery Learning.
1.   Kegiatan Pendahuluan
(1)    Peserta didik diberikan gambaran umum tentang revolusi industri 4.0 yang merambah di setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bidang komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai medianya.
(2)    Peserta didik diminta untuk menyampaikan curah pendapat tentang dampak positif dan negatif maraknya penggunaan media sosial di masyarakat.
(3)    Peserta didik memahami kompetensi yang akan dicapai, yakni tentang Menulis Teks Laporan Hasil Observasi dan manfaat mempelajari materi tersebut.

2.   Kegiatan Inti
a.  Stimuli
(1)     Peserta didik dikondisikan dalam suasana belajar yang menyenangkan dengan menayangkan berbagai kemajuan teknologi di era 4.0.
(2)     Peserta didik mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari guru yang berkaitan dengan penggunaan bahasa di media sosial.
(3)     Peserta didik diorganisasikan dalam beberapa kelompok heterogen.
(4)     Peserta didik menyimak penyampaian guru tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan dalam pembelajaran Menulis Teks Laporan Hasil Observasi.melalui model pembelajaran Discovery Learning.
b.  Identifikasi
(1)    Peserta didik melakukan observasi terhadap penggunaan kata-kata sarkastis yang terdapat di media sosial.
(2)    Peserta didik mengidentifikasi hal-hal relevan yang berkaitan dengan penggunaan kata-kata sarkastis di media sosial, kemudian merrumuskannya dalam suatu hipotesis.
c.  Pengolahan Data
(1)    Peserta didik dalam kelompok melakukan diskusi untuk mengolah data yang telah ditemukan yang berkaitan dengan penggunaan kata-kata sarkastis di media sosial.
(2)    Peserta didik dalam kelompok menyusun laporan hasil observasi yang berkaitan dengan penggunaan kata-kata sarkastis di media sosial.
d.  Verifikasi         
(1)     Masing-masing kelompok membuktikan temuannya dengan cara mempresentasikan hasil laporan observasi di depan kelas.
(2)     Kelompok lain memberikan tanggapan atas presentasi tersebut.
e.  Generalisasi
Peserta didik membuat simpulan terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.

3.   Kegiatan Penutup
(1)  Peserta didik melakukan refleksi dan membuat simpulan terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.
(2)    Guru memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.

Dengan pembelajaran seperti itu, peserta didik akan mengetahui kata-kata sarkastis yang sering digunakan oleh para pengguna media sosial yang sebenarnya tidak pantas digunakan. Kata-kata seperti itu tentu saja mengakibatkan demoralitas berbahasa Indonesia. Dengan demikian, setelah ,mengetahui hal tersebut, peserta didik tidak terjerumus menjadi penerus demoralitas berbahasa Indonesia. Sebaliknya, mereka akan menjadi penjaga-penjaga moralitas berbahasa.

Simpulan
Perkembangan zaman telah mengantarkan manusia pada era revolusi industri 4.0. Dampak yang ditimbulkan pun semakin kompleks dan terjadi pada semua aspek kehidupan, termasuk dalam bidang bahasa karena komunikasi antarmanusia tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.
Di era revolusi industri keempat tersebut, media-media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, line, dan whatsaap tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Para pengguna media sosial tersebut dimanjakan dengan mudahnya berkomunikasi dan berekspresi, bahkan dengan orang-orang yang tidak dikenal. Namun sayangnya, kebebasan tersebut melampaui batas norma sosial, budaya, dan etika berkomunikasi. Kata-kata sarkastis, seperti “dungu”, “tolol”, “anjing”, “kaum kampret”, “kaum kecebong”, dan “mulut sampah” di media sosial akhir-akhir ini merupakan contoh konkret bahwa bahasa digunakan sebagai media untuk mencaci, memaki, dan mengumpat lawan bicara. Hal yang demikian tentu akan mendegradasi moral (demoralitas) berbahasa Indonesia. Oleh sebab itu, perlu ditumbuhkan kembali moralitas berbahasa dalam aktivitas komunikasi agar tetap terjalin hubungan yang baik di antara peserta komunikasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tanggung jawab moral yang luar biasa atas semakin maraknya penggunaan kata-kata sarkastis di media sosial. Untuk itu, guru Bahasa Indonesia harus mampu mempersiapkan peserta didiknya melalui berbagai kegiatan pembelajaran yang mampu membangun kompetensi peserta didik untuk berpikir kritis.
Beberapa materi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk menumbuhkan kembali moralitas berbahasa Indonesia di antaranya adalah teks laporan hasil observasi, debat, eksplanasi, karya ilmiah, editorial, dan kritik-esai. Materi-materi tersebut dapat diajarkan dengan menggunakan beberapa model pembelajaran, seperti discovery learning, problem based learning, think pair share, inquiry, atau model yang lain. Dengan mengaitkan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan perkembangan di era 4.0, peserta didik akan lebih mengenal bahasa Indonesia dan mencintainya karena bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa.

Daftar Rujukan
Efendi, Darwin. “Bahasa Indonesia dalam Revolusi 4.0”. Diakses dari https://koranindonesia.id/bahasa-indonesia-dalam-revolusi-4-0/ pada 16 Juni 2019 Pukul 21.00.
Keraf, Gorys. 1980, Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh M.D.D. Oka. 1996.. Jakarta: UI Press.
Nababan, PWJ. 1994. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pagmatik. Bandung: Angkasa.
Yule, George. 2006. Pragmatik (Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dilakukan  oleh Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda!

Profil Sekolah Binaan

SMK NEGERI 1 KAMAL DAN SMK NEGERI 2 BANGKALAN