Demoralitas berbahasa menjadi
salah satu dampak negatif dimulainya revolusi industri 4.0. Hal itu disebabkan
oleh dilibatkannya sistem siber fisik di segala aspek kehidupan, termasuk dalam
komunikasi antarmanusia yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Media-media
sosial yang berkembang pesat pada era 4.0, seperti facebook, twitter, instagram, line, dan whatsaap semakin meramaikan
disruptif berbahasa Indonesia yang pada akhirnya menciptakan demoralitas (ketidaksantunan)
berbahasa.
Maraknya penggunaan kata, seperti
“dungu”, “tolol”, “anjing”, “kaum kampret”, “kaum kecebong”, dan “mulut sampah”
di media sosial akhir-akhir ini merupakan contoh konkret bahwa bahasa digunakan
sebagai media untuk mencibir, memaki, menghina, dan mengumpat lawan bicara. Kata-kata
yang demikian tentu saja akan mencederai hakikat komunikasi sebagai suatu
kegiatan pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga
pesan yang dimaksudkan oleh penutur (orang yang berbicara) dapat dipahami petutur
(orang yang diajak berbicara). Untuk itu, moralitas berbahasa dalam suatu aktivitas
komunikasi selayaknya tetap diperhatikan agar senantiasa terjalin hubungan yang
harmonis di antara peserta komunikasi (komunikan). Hal itu didasarkan pada
pertimbangan bahwa komunikasi bukan meripakan peristiwa yang terjadi secara
tiba-tiba, melainkan memiliki fungsi dan tujuan tertentu, serta dapat
menimbulkan pengaruh pada petutur. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran
Tarigan (1986:50) bahwa komunikasi memiliki fungsi yang bersifat purposif,
mengandung tujuan tertentu, dan menghasilkan efek, pengaruh, dan akibat pada penutur dan petutur.
Berkaitan dengan hal tersebut,
guru, sebagai ujung tombak pendidikan yang berkualitas, memiliki peran penting
dalam menjaga moralitas berbahasa Indonesia para peserta didik. Guru, dengan
demikian, harus senantiasa memberikan arahan dan menjadikan dirinya sebagai teladan
bagi peserta didik tentang hakikat berbahasa dalam komunikasi antarpersonal. Untuk
itu, dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, guru harus memiliki strategi atau
model pembelajaran yang tepat, yakni dengan mengaitkan materi pembelajaran
dengan realitas era 4.0.
Hakikat Bahasa
Bahasa menurut Keraf (1980:32) berfungsi sebagai alat untuk menyatakan
ekspresi, komunikasi, integrasi-adaptasi sosial, dan kontrol sosial.
Berdasarkan keempat fungsi tersebut, bahasa berperan penting dalam kehidupan
manusia karena bahasa adalah media dalam kegiatan berinteraksi. Sejalan sengan
pendapat tersebut, Sumarsono (2007:18) menyatakan bahwa bahasa adalah produk sosial atau produk budaya
sehingga bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, Nababan (1994:38)
membagi fungsi bahasa menjadi
empat, yaitu (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi
perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Keempat macam fungsi tersebut saling
berkaitan.
Media
Sosial
Ada banyak
pengertian tentang media sosial (https://www.maxmanroe.com), di antaranya
dikemukakan oleh beberapa ahli berikut. Brogan
menyatakan bahwa media sosial adalah seperangkat alat komunikasi dan kolaborasi baru yang memungkinkan terjadinya
berbagai interaksi yang sebelumnya tidak tersedia bagi orang awam. Sejalan
dengan Brogan, Terry menyatakan bahwa media sosial adalah suatu media komunikasi
agar pengguna dapat mengisi kontennya secara bersama yang menggunakan teknologi
berbasis internet. Cross juga menyatakan hal yang sama bahwa media sosial
adalah sebuah istilah yang menggambarkan bermacam-macam teknologi yang
digunakan untuk mengikat orang-orang ke dalam suatu kolaborasi, saling bertukar
informasi, dan berinteraksi melalui isi pesan yang berbasis web.
Sementara itu, karakteristik media sosial (https://www.maxmanroe.com) di antaranya adalah sebagai berikut.
(1) Adanya partisipasi yang mendorong penggunanya untuk memberikan umpan balik atas suatu pesan atau konten yang terdapat di media sosial yang dapat
diterima atau dibaca oleh banyak orang.
(2) Adanya keterbukaan karena diberi kesempatan bagi para pengguna untuk berkomentar, berbagi, dan lain-lain yang dapat
dilakukan dengan.
(3) Adanya perbincangan atas suatu konten, baik
dalam bentuk reaksi maupun percakapan di antara para pengguna. Sementara itu, penerima pesan bebas menentukan kapan melakukan
interaksi terhadap konten
tersebut.
(4) Adanya keterhubungan dengan
pengguna lainnya melalui fasilitas
tautan dan sumber informasi lainnya. Proses pengiriman pesan melalui media sosial akan lebih cepat jika dibandingkan dengan media lainnya.
Moralitas
Berbahasa Indonesia
Moralitas berbahasa berkaitan dengan kesantunan
berbahasa. Kesantunan berbahasa selayaknya mendapatkan perhatian, baik oleh
para linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi
setiap pengguna bahasa untuk memahami moralitas berbahasa karena kodrat manusia
adalah makhluk berbahasa. Moralitas berbahasa tampak dari tata cara komunikan berkomunikasi,
baik lisan maupun tulisan melalui lambang-lambang verbal. Hal itu sejalan
dengan pernyataan Yule (2006:104) bahwa kesantunan (dan kesopanan) berbahasa
dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah
orang lain. Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur
menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu
yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (Yule, 2006:106).
Berkaitan dengan hal tersebut, sudah sewajarnya jika pengguna
bahasa menerapkan norma-norma sosial, budaya, dan etika dalam setiap peristiwa
komunikasi. Norma-norma tersebut akan menciptakan moralitas berbahasa. Untuk
menciptakan hal tersebut, ada empat prinsip menurut Leech (1993: 123-125) yang
harus diperhatikan, yakni prinsip kesopanan, penghindaran pemakaian kata tabu,
penggunaan eufemisme, dan penggunaan pilihan kata honorifik. Hal-hal tersebut
secara singkat dipaparkan bagian berikut ini.
Pertama, dalam dalam
suatu komunikasi perlu digunakan prinsip kesopanan, yang terdiri atas enam maksim,
yaitu tact maxim (mengutamakan
kearifan bahasa), approbation
maxim (mengutamakan keuntungan untuk orang lain), generosity maxim (maksim yang mengutamakan rasa hormat pada orang lain), modesty maxim (maksim yang mengutamakan pujian pada orang lain), agreement maxim (maksim yang mengutamakan kecocokan pada orang lain), sympath maxim (mengutamakan rasa simpati pada orang lain). Dengan
menerapkan maksim-maksim tersebut, komunikan tidak lagi menggunakan kata-kata
kasar atau ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi
akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Kedua, penghindaran
pemakaian kata tabu. Kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang
lazim ditutupi pakaian, benda yang menjijikkan, dan kata-kata sarkastis tidak
lazim digunakan dalam berkomunikas. Ketiga, penggunaan eufemisme dalam
tuturan perlu dilakukan untuk menghindari kesan negatif terhadap hal yang
dituturkan. Namun demikian, eufemisme harus digunakan secara wajar dan tidak
berlebihan. Keempat, penggunaan kata honorifik, yaitu ungkapan
hormat penutur saat berbicara atau menyapa petutur.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan utama kesantunan berbahasa
adalah menjaga etika berkomunikasi. Oleh sebab itu, norma sosial, budaya, dan
etika dalam berbahasa perlu diperhatikan karena berkomunikasi tidak hanya
sekadar penyampaian ide, tetapi juga pelibatan ketiga norma tersebut. Untuk itu, tata cara berbahasa harus selaras dengan
norma-norma tersebut. Apabila tidak, akan dianggap sebagai hal yang negatif
oleh masyarakat, misalnya dituduh sebagai orang yang angkuh, sombong, egois,
tidak beradat, tidak beretika, tidak berpendidikan, atau tidak berbudaya. Tata
cara berbahasa yang mengikuti norma-norma tersebut merupakan sebuah indikator
tumbuhnya moralitas berbahasa. Sebaliknya, jika hal itu diabaikan, akan timbul
demoralitas berbahasa.
Demoralitas
Berbahasa Indonesia di Media Sosial
Maraknya aplikasi media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, line, dan whatsapp adalah bukti konkret perkembangan zaman di era 4.0. Era revolusi
industri tersebut tidak hanya sekadar otomatisasi dan komputerisasi, tetapi
juga komunikasi antarmanusia yang menggunakan bahasa sebagai alat penyampaian
pesan. Media sosial semakin meramaikan era disruptif bahasa ini.
Bahasa sebagai sarana yang digunakan dalam percakapan
di media sosial telah mampu menggugah perasaan kita tentang makna moralitas berbahasa.
Moralitas berbahasa berkaitan dengan cara penggunaan bahasa, sikap berbahasa, dan
estetika berbahasa seseorang karena moralitas berbahasa menjadi sangat penting
dalam pranata sosio-kultural masyarakat (Efendi dalam https://koranindonesia.id/).
Percakapan para pengguna media sosial,
disadari atau tidak, cenderung menggunakan pilihan kata bermakna kasar. Dampak
negatifnya adalah “perang kata-kata kasar” sering terjadi dalam komunikasi di
antara mereka. Jika hal itu dibiarkan, lambat laun akan merusak persatuan di
tengah keberagaman masyarakat dan melunturkan sendi-sendi berbangsa dan
bernegara.
Kecenderungan menggunakan gaya bahasa
sarkasme semakin parah saat berlangsungnya pesta demokrasi pemilihan presiden
yang perhelatannya baru saja selesai. Para pendukung kandidat calon presiden
saling melontarkan kata-kata yang bermakna negatif terhadap lawan calon
presiden lainnya. Beberapa contoh kata yang telah dikemukakan pada bagian
pendahuluan menjadi bukti nyata bahwa pengguna bahasa sering tidak mempedulikan
moralitas berbahasa ketika berkomunikasi. Para pengguna media sosial tersebut,
yang kemungkinan tidak saling mengenal di dunia nyata, semakin menyuburkan
keberanian untuk berkata-kata yang bernada sarkastis. Karena tidak saling
mengenal itulah, mereka beranggapan bahwa penggunaan kata-kata kasar bukan
sebagai suatu kesalahan, bahkan dianggap sebagai hal yang wajar.
Hal yang demikian tentu dapat merusak
kebanggaan kita sebagai warga bangsa karena bahasa Indonesia lahir dari
semangat persatuan di tengah keberagaman etnis dan sesuai dengan jati diri
bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai sosial, budaya, dan etika.
Kesopansantunan dalam berbahasa Indonesia adalah warisan budaya yang adiluhung
dan tidak ternilai. Oleh sebab itu, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan
interaksi antarmasyarakat serta media penyampai pesan, perasaan, dan pikiran
manusia perlu dipertahankan dan dikembangkan. Jika hal tersebut tidak
diantisipasi secara saksama, bukan tidak mungkin sisi negatif yang akan muncul
dan berkembang sebagai pemicu konflik dan kesalahpahaman, seperti yang sering
terjadi di media sosial dewasa ini. Untuk mengantisipasi dampak negatif
tersebut, pengguna bahasa harus memahami etika berbahasa (linguistic etiquete). Hal itu sejalan dengan pernyataan Nababan
(1994:53) bahwa bahasa seseorang akan mengikuti norma kebudayaan induknya.
Peran
Guru Bahasa Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Demoralitas Berbahasa di Media
Sosial
Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki
tanggung jawab moral yang luar biasa atas demoralitas berbahasa Indonesia yang
ditandai dengan semakin maraknya penggunaan kata-kata sarkastis di media
sosial. Oleh sebab itu, perlu segera dicarikan solusinya agar tidak semakin
meluas karena jika dibiarkan, hal tersebut bisa menjadi “budaya negatif” yang
berujung pada perpecahan di antara sesama anak bangsa.
Berkaitan dengan hal tersebut, guru Bahasa
Indonesia harus mampu mempersiapkan peserta didiknya melalui berbagai kegiatan,
misalnya dengan membangun kemampuan dan
kebiasaan peserta didik untuk berpikir kritis. Dalam tulisan ini, dihadirkan beberapa
materi pembelajaran bahasa Indonesia untuk SMA yang bertolak dari realitas era
4.0. Beberapa materi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
No
|
Kelas
|
Semester
|
Materi
|
1
|
X
|
Gasal
|
Teks Laporan Hasil
Observasi
|
2
|
Genap
|
Teks Debat
|
|
3
|
XI
|
Gasal
|
Teks Eksplanasi
|
4
|
Genap
|
Teks Karya Ilmiah
|
|
5
|
XII
|
Gasal
|
Teks Editorial
|
6
|
Genap
|
Teks Kritik dan
Esai
|
Untuk mengajarkan materi-materi tersebut, ada
beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan guru. Model pembelajaran
kooperatif discovery learning, problem
based learning, think pair share,
inquiry, atau model yang lain dapat
diterapkan untuk tujuan tersebut.
Berikut disajikan gambaran umum pelaksanaan
pembelajaran pada materi Menulis Teks
Laporan Hasil Observasi dengan menggunakan Discovery Learning.
1. Kegiatan Pendahuluan
(1) Peserta
didik diberikan gambaran umum tentang revolusi industri 4.0 yang merambah di
setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bidang komunikasi yang menggunakan bahasa
sebagai medianya.
(2) Peserta
didik diminta untuk menyampaikan curah pendapat tentang dampak positif dan
negatif maraknya penggunaan media sosial di masyarakat.
(3) Peserta
didik memahami kompetensi yang akan dicapai, yakni tentang Menulis Teks Laporan Hasil Observasi dan manfaat mempelajari materi
tersebut.
2. Kegiatan Inti
a. Stimuli
(1)
Peserta didik dikondisikan dalam
suasana belajar yang menyenangkan dengan menayangkan berbagai kemajuan teknologi
di era 4.0.
(2)
Peserta didik mendapatkan
pertanyaan-pertanyaan dari guru yang berkaitan dengan penggunaan bahasa di
media sosial.
(3)
Peserta didik diorganisasikan
dalam beberapa kelompok heterogen.
(4)
Peserta didik menyimak
penyampaian guru tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan dalam
pembelajaran Menulis Teks Laporan Hasil Observasi.melalui model pembelajaran Discovery Learning.
b. Identifikasi
(1)
Peserta didik melakukan observasi terhadap penggunaan
kata-kata sarkastis yang terdapat di media sosial.
(2) Peserta didik
mengidentifikasi hal-hal relevan yang berkaitan dengan penggunaan
kata-kata sarkastis di media sosial, kemudian merrumuskannya dalam
suatu
hipotesis.
c. Pengolahan Data
(1) Peserta
didik dalam kelompok melakukan diskusi untuk mengolah data yang telah ditemukan yang berkaitan dengan penggunaan kata-kata
sarkastis di media sosial.
(2) Peserta
didik dalam kelompok menyusun laporan hasil observasi yang berkaitan dengan
penggunaan kata-kata sarkastis di media sosial.
d. Verifikasi
(1)
Masing-masing kelompok
membuktikan temuannya dengan cara mempresentasikan hasil laporan observasi di
depan kelas.
(2)
Kelompok lain memberikan
tanggapan atas presentasi tersebut.
e. Generalisasi
Peserta
didik membuat simpulan terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.
3. Kegiatan Penutup
(1) Peserta
didik melakukan refleksi dan membuat simpulan terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.
(2) Guru
memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.
Dengan pembelajaran seperti itu, peserta
didik akan mengetahui kata-kata sarkastis yang sering digunakan oleh para
pengguna media sosial yang sebenarnya tidak pantas digunakan. Kata-kata seperti
itu tentu saja mengakibatkan demoralitas berbahasa Indonesia. Dengan demikian, setelah
,mengetahui hal tersebut, peserta didik tidak terjerumus menjadi penerus
demoralitas berbahasa Indonesia. Sebaliknya, mereka akan menjadi penjaga-penjaga
moralitas berbahasa.
Simpulan
Perkembangan zaman telah
mengantarkan manusia pada era revolusi industri 4.0. Dampak yang ditimbulkan
pun semakin kompleks dan terjadi pada semua aspek kehidupan, termasuk dalam
bidang bahasa karena komunikasi antarmanusia tidak lagi dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Di era revolusi industri keempat
tersebut, media-media sosial, seperti facebook,
twitter, instagram, line, dan whatsaap tumbuh bagai jamur di musim
penghujan. Para pengguna media sosial
tersebut dimanjakan dengan mudahnya berkomunikasi dan berekspresi, bahkan
dengan orang-orang yang tidak dikenal. Namun sayangnya, kebebasan tersebut
melampaui batas norma sosial, budaya, dan etika berkomunikasi. Kata-kata
sarkastis, seperti “dungu”, “tolol”, “anjing”, “kaum kampret”, “kaum kecebong”,
dan “mulut sampah” di media sosial akhir-akhir ini merupakan contoh konkret
bahwa bahasa digunakan sebagai media untuk mencaci, memaki, dan mengumpat lawan
bicara. Hal yang demikian tentu akan mendegradasi moral (demoralitas) berbahasa
Indonesia. Oleh sebab itu, perlu ditumbuhkan kembali moralitas berbahasa dalam
aktivitas komunikasi agar tetap terjalin hubungan yang baik di antara peserta
komunikasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tanggung jawab moral yang luar biasa atas
semakin maraknya penggunaan kata-kata sarkastis di media sosial. Untuk itu,
guru Bahasa Indonesia harus mampu mempersiapkan peserta didiknya melalui
berbagai kegiatan pembelajaran yang mampu membangun kompetensi peserta didik untuk
berpikir kritis.
Beberapa materi dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia yang dapat digunakan untuk menumbuhkan kembali moralitas berbahasa Indonesia
di antaranya adalah teks laporan hasil observasi, debat, eksplanasi, karya
ilmiah, editorial, dan kritik-esai. Materi-materi tersebut dapat diajarkan
dengan menggunakan beberapa model pembelajaran, seperti discovery learning, problem based learning, think pair share, inquiry,
atau model yang lain. Dengan mengaitkan materi pembelajaran yang disesuaikan
dengan perkembangan di era 4.0, peserta didik akan lebih mengenal bahasa
Indonesia dan mencintainya karena bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa.
Daftar Rujukan
Efendi, Darwin. “Bahasa Indonesia dalam Revolusi 4.0”. Diakses
dari https://koranindonesia.id/bahasa-indonesia-dalam-revolusi-4-0/
pada 16 Juni 2019 Pukul 21.00.
https://www.maxmanroe.com/vid/teknologi/internet/pengertian-media-sosial.html.
Diakses pada 16 Juni 2019 Pukul 21.10.
Keraf, Gorys. 1980, Komposisi.
Ende Flores: Nusa Indah.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip
Pragmatik (Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh
M.D.D. Oka. 1996.. Jakarta: UI Press.
Nababan,
PWJ. 1994. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Sabda.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pagmatik. Bandung:
Angkasa.
Yule, George. 2006. Pragmatik (Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia
dilakukan oleh Indah Fajar Wahyuni).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda!